Jakarta, REPORT INDONESIA – Kata Sambutan Ketua SETARA Institute, Hendardi dalam acara Diskusi Publik Dan Media yang diselenggarakan oleh SETARA Institute, Dengan Tema :” Menguak Fakta Aktual Radikalisme Dan Terorisme Di Indonesia “, Selasa(22/5/2018) di Hotel Ashley Jl. KH. Wahid Hasyim Jakarta Pusat, yang dihadiri oleh narasumber diantaranya, Sidney Jones(IPAC), Irjen Pol(P) Benny J. Mamoto(Kepala Pusat Riset Ilmu Kepolisian Dan Kajian Terorisme Sekolah Kajian Strategik Dan Global Universitas Indonesia), Ahmad Taufan Damanik(Ketua Komnas HAM), Retno Listyarti(Komisioner KPAI) Dan Bonar Tigor Naipospos(Wakil Ketua SETARA Institute).
Diskusi tentang menguak fakta aktual radikalisme dan terorisme merupakan bagian cara masyarakat sipil memberikan dukungan pada institusi negara dalam menangani terorisme. Dengan mengetahui jejaring dan fakta-fakta yang terserak di tengah masyarakat, diharapkan dapat memperkuat energi yang memperkokoh ketahanan sosial warga negara, dari ancaman virus radikalisme dan terorisme. Selain soal jejaring dan area yang perlu diwaspadai, kinerja deradikalisasi juga menjadi bagian yang akan didiskusikan.
Pada 20 tahun lalu, dimana tonggak reformasi mulai ditancapkan dengan kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998, salah satu agenda yang kita perjuangkan adalah kebebasan bagi warga negara, karena protes dan perlawanan atas belenggu dan represi politik di masa Orde Baru, yang lekat dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Atas nama stabilitas keamanan, negara dengan ABRI sebagai operator utamanya, melakukan operasi keamanan hingga masuk ke segi-segi yang paling privat pada setiap warga negara. Dengan watak otoritarian dan pola represif itu pula, pemerintah mengklaim telah berhasil memperkuat stabilitas keamanan, Meskipun kebebasan sipil dan politik warga terpasung.
Hari ini, setelah kebebasan sipil dan kebebasan politik yang merupakan jantung demokrasi dinikmati oleh warga negara, gejala-gejala adanya upaya pemusatan kekuasaan pada alat-alat negara mulai terlihat. Watak otoritarianisme secara samar-samar mulai mewujud, meski tidak dilakukan secara kolektif dan terpola. Gejala itu terjadi di pemerintahan, parlemen, dan juga di tengah warga negara sejalan dengan menguatnya kapasitas koersif masyarakat dalam melakukan kekerasan warga. Pendek kata, kecenderungan represi dan pemasungan kebebasan mulai dijadikan pilihan oleh berbagai aktor meski dengan argumen-argumen demokratik. Sebagai contoh, ketika warga negara memonitor secara ketat upaya pemberantasan terorisme oleh kepolisian agar tidak melanggar hak asasi manusia, Kepala Staf Kantor Staf Kepresidenan, Moledoko, justru mengeluarkan kebijakan, yang tampak seperti kebijakan pribadi, mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan TNI.
Pengaktifan Koopssusgab oleh Moeldoko, yang tampaknya mengambil jalan pintas tanpa diskusi dan tampaknya tidak memperoleh dukungan menteri-menteri terkait, bisa jadi merupakan langkah yang bertolak dari semangat reformasi yang digulirkan 20 tahun lalu. Operasi-operasi militer untuk tujuan mengatasi suatu tindak pidana terorisme, hanya akan menjadi teror baru bagi warga negara. Jokowi bisa jadi tidak memperoleh masukan komprehensif tentang perkembangan kinerja pemberantasan terorisme dan pembahasan RUU Terorisme. Karena sesungguhnya kalau kita mencermati kinerja pemberantasan terorisme, maka berbagai indikator menunjukkan bahwa Polri dengan dibantu oleh TNI dan aparat keamanan lain telah bekerja optimal.
Demikian juga, upaya berbagai pihak untuk memastikan pemberantasan terorisme dalam kerangka rule of law dan sistem peradilan pidana, sehingga semua tindakan negara bisa dipertanggungjawabkan, justru disikapi secara panik oleh pemerintah dengan pengaktifan Koopssusgab. Pengaktifan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan TNI oleh Presiden Jokowi, meskipun secara prinsipil dapat diterima, tetapi dinilai berlebihan dan membuat kegaduhan baru sekaligus mempertegas kesan kepanikan yang berlebihan. Keputusan Jokowi, lebih merupakan keputusan politik memberikan akomodasi pada aspirasi sejumlah purnawirawan TNI bukan genuine untuk menegakan hukum antiterorisme.
Pelibatan TNI dapat dibenarkan sepanjang tetap patuh pada ketentuan dalam Pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI, dimana pelibatan TNI bersifat sementara dan merupakan last resort atau upaya terakhir dengan skema perbantuan terhadap Polri yang beroperasi dalam kerangka integrated criminal justice system. Pola perbantuan ini telah berjalan sejak lama dan beroperasi secara efektif.
Karena itu, RUU Antiterorisme yang rencananya akan secara maraton dibahas mulai besok, 23 Mei 2018 dan akan disahkan pada 25 Mei 2018, diharapkan tidak menyusupkan pasal-pasal transaksional sebagai bentuk akomodasi politik pada elemen-elemen tertentu. Karena tugas membahas dan mengesahkan RUU Antiterorisme adalah tugas kemanusian; bukan arena politik dimana para aktor berebut kewenangan dan kekuasaan. Sedapat mungkin sidang dilakukan secara terbuka sehingga akuntabilitas proses legislasi bisa dipertanggungjawabkan.
Tanpa disadari, perdebatan anggota DPR dalam Pansus RUU Antiterorisme dan inisiatif-inisiatif politik sepihak Ketua Pansus RUU Antiterorisme, Muhammad Syafii dan inkonsistensi sikap pemerintah, telah menjadikan pembahasan RUU ini berlarut-larut, khususnya terkait materi definisi dan pelibatan TNI. Definisi terorisme yang masih terus diperdebatkan haruslah disusun dengan mengedepankan pembatasan yang rasional dan aktual serta seminimal mungkin memberikan legitimasi pada aksi terorisme. Pemaksaan definisi yang mensyaratkan adanya motif politik dalam setiap tindakan terorisme, sesungguhnya memberi ruang bebas dan melegitimasi tindakan teror, yang umumnya tidak selalu bermotif politik kekuasaan.
Jokowi diharapkan tidak mengambil langkah-langkah kontraproduktif dan bertentangan dengan semangat kepatuhan pada rule of law dan penghormatan pada hak asasi manusia, dalam menyikapi aksi terorisme dan pembahasan RUU Antiterorisme. Cara-cara represi adalah bukan jalan reformasi dan secara pragmatis justru akan menjauhkan warga dengan Jokowi yang akan berlaga kembali di Pilpres 2019. Dibanding menghidupkan kembali Komando tersebut, Jokowi lebih baik turut aktif memastikan penyelesaian pembahasan revisi RUU Antiterorisme. Karena dalam RUU itulah jalan demokratis dan ramah HAM disediakan melalui kewenangan-kewenangan baru Polri yang diperluas, pelibatan TNI, BIN, dan BNPT secara terintegrasi, tetapi tetap dalam kerangka rule of law.
Terima kasih,
Hendardi, Ketua SETARA Institute