Jakarta, REPORT INDONESIA – Setelah rata-rata lebih dari dua bulan diberlakukannya kegiatan belajar dari rumah, sebagai implementasi kebijakan physical-distancing dan PSBB, banyak guru, murid dan orang tua mulai merasa jenuh. Di satu sisi mereka jenuh karena tidak-adanya kepastian kapan pandemi Covid-19 ini berakhir, di sisi lain mereka sadar pentingnya untuk tetap patuh. Di satu sisi mereka ingin kegiatan belajar mengajar segera kembali berjalan normal, di sisi lain mereka khawatir akan masih tingginya resiko penularan Covid-19. Di tengah kondisi ketidakpastian seperti sekarang ini, alternatif solusi yang ditawarkan pemerintah untuk bersiap menjalani normal baru nampaknya bisa membawa harapan yang paling realistis, walau tidak bisa serta merta diberlakukan bagi semua tingkatan. Kebijakan ini sangat mungkin untuk diterapkan untuk tingkatan sekolah lanjutan pertama ke atas, namun masih perlu banyak pertimbangan sebelum benar-benar dilaksanakan di tingkat dasar dan pra-sekolah, terutama di PAUD .
Guru PAUD dan Buah Simalakama
Sebelum wacana pelaksanaan normal baru disosialisasikan lewat media-media, beberapa teman, yang di antaranya adalah pengelola yayasan pendidikan yang memayungi PAUD, beberapa kepala sekolah, dan guru-guru PAUD sempat curhat tentang betapa rumitnya situasi hari ini. Kerumitan itu beragam. Permasalahan mereka yang ada di kota berbeda dengan yang di desa-desa. Permasalahan di sekolah yang terbilang favorit dan yang masih merintis pun sangat berbeda. Permasalah itu antara lain kesulitan untuk meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran jarak jauh karena minimnya dana, permasalahan dari orang tua murid yang meminta pengurangan biaya karena merasa sebagian dari tugas guru menjadi bagian dari tanggung jawab mereka di rumah, permasalahan pengurangan gaji guru karena ketidakmampuan orang tua murid karena menurunya pemasukan akibat Covid-19 sementara kebutuhan justru bertambah, dan permasalahan terkait kesiapan anak-anak itu sendiri untuk bisa diajak menjalani normal baru.
Terkait hal itu, Direktur PAUD di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Hasbi, pernah menyampaikan hasil survei yang menggambarkan bagaimana kinerja guru-guru PAUD yang tinggi belum terimbangi dengan kelancaran gaji mereka. Hasil survei itu menggambarkan bahwa sekitar 98,4 persen satuan PAUD menyelenggarakan pembelajaran di rumah selama wabah covid—19. Adapun untuk metode pembelajarannya, 35,3 persen adalah penugasan melalui orang tua, 17,5 persen dilaksanakan oleh orang tua, 14 persen dilakukan melalui kunjungan guru ke rumah, lalu melalui TVRI 19, 9 persen, dan 13,2 persen melalui platform pembelajaran daring. Ini menunjukkan pemenuhan tanggung jawab mereka yang patut diberikan apresiasi.
Dari survei yang sama, yang dilakukan terhadap 10.601 satuan PAUD di 514 kabupaten atau kota di 34 provinsi selama periode pandemi, ketika berbicara tentang gaji atau honor, ternyata sebesar 49 persen guru PAUD tidak menerima honor yang dibayarkan penuh selama pandemi. Dari jumlah total responden guru di daerah tertinggal, sebanyak 47,8 persen bahkan tidak menerima gaji, sedangkan 14 persen lainnya menerima setengah dari gaji. Sementara di daerah lain yang bukan daerah tertinggal, sebanyak 27,1 persen guru tidak menerima gaji dan 21 persen menerima setengah dari gaji.
Temuan lainnya, Dari keseluruhan responden, sebanyak 40 persen mengaku orang tua tidak membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) selama pandemi.Kemudian 39 persen mengatakan orang tua membayar SPP sebagian, dan 21 persen membayar SPP secara penuh.
Sebagai direktur PAUD di Kementerian, tentunya Hasbi tentunya sudah melakukan upaya agar permasalahan terkait gaji ini bisa teratasi. Atas permasalahan itu, diberitakan bahwa Mendikbud Nadiem Makarim sudah mengeluarkan kebijakan agar dana BOP PAUD bisa digunakan untuk honor guru selama pandemi. Namun rupanya itupun masih menyisakan banyak pekerjaan karena hingga kemarin masih banyak laporan masuk terkait tak kunjung cairnya dana BOP.
Masalah lainnya, tidak semua satuan PAUD mendapatkan BOP. Sementara untuk dana APBD pun juga tidak semua guru mendapatkannya karena adanya syarat-syarat yang semakin lama semakin ketat. Apalagi dari APBD, yang biasanya hanya memprioritaskan guru-guru berprestasi, itupun dapatnya hanya sesekali.
Dalam kondisi seperti ini, jangan sampai tuntutan pemerintah bagi mereka untuk menjalankan normal baru menjadi tambahan beban yang besar, tanpa terlebih dahulu dipertimbangkan masak-masak berbagai permasalahannya untuk kemudian dicarikan solusi bersama. Di sini, permasalahannya tidak melulu terkait dengan kemampuan finansial sekolah-sekolah untuk mengadakan saran dan prasaran pendukung untuk pelaksanaan normal baru, tetapi juga pada kesiapan orang tua secara psikologis untuk melepas kembali anak-anaknya ke sekolah, dan yang paling utama dalah kesiapan dari anak-anak itu sendiri.
Anak-anak PAUD adalah anak-anak yang masih penuh gairah untuk bertemu dan bermain bersama teman-temannya. Ketika mereka diperbolehkan untuk kembali ke sekolah, sangat mungkin yang mereka bayangkan adalah hal-hal yang mengasyikkan, yakni untuk belajar sambil bermain. Tidaklah mudah untuk memberikan edukasi pada mereka tentang pencegahan Covid-19 sebagai bagian dari normal baru, apalagi untuk memiliki kesadaran akan resiko tidak melakukan ini dan itu. Bayangkan jika sekolah memutuskan untuk menyediakan masker yang bergambar lucu-lucu bagi para murid agar mereka tertarik untuk menggunakannya, tapi karena pengawasan yang tidak bisa dilakukan terus menerus, lantas ada anak yang tertarik dengan gambar masker yang dikenakan temannya dan lalu mengajak saling tukar? Hal-hal yang nampaknya konyol seperti itu pun sangat mungkin terjadi di dunia anak-anak yang masih polos.
Pentingnya Dukungan Negosiasi Vertikal dan Horisontal
Sebelum lebih lanjut bersama-sama bersiap untuk menjalani normal baru, permasalahan yang mendasar tetapi bisa menjadi batu sandungan tadi sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu. Bukan sesuatu yang muluk-muluk, melainkan sekedar untuk memperjuangkan terjaminnya penerimaan pendapatan atau honor pada tingkat kepantasan saja karena mereka memang berhak untuk itu.
Dalam hal ini, pihak satuan PAUD dan mereka yang ada di struktur seperti Direktur PAUD bisa saling berbagi tugas untuk menjalankan negosiasi dan lobby-lobby mereka. Secara horizontal, masing-masing satuan PAUD bisa mulai berkomunikasi secara terbuka dengan para orang tua murid sebagai customer-nya untuk tetap mempercayakan anak-anak mereka, dan syukur-syukur karena tahu kondisi permasalahan ini mereka lalu tidak menuntut keringanan pembiayaan sejauh mereka memang mampu. Sementara itu, secara vertikal, mereka yang ada di struktur melakukan negosiasi dan lobby-lobby ke atas untuk mencari solusi bersama atas berbagai permasalahan yang ada di ranah PAUD sebagaimana terilustrasikan dengan cukup lengkap dari hasil survei tadi.
Selanjutnya, mempertimbangkan berbagai kekhususan situasi dan kondisi yang ada di PAUD, semestinya kebijakan pemberlakuan normal baru diperuntukkan untuk tingkatan sekolah lanjutan pertama ke atas lebih dahulu, karena baik secara kognitif ataupun afektif mereka relatif lebih siap untuk itu, baru kemudian setelah berhasil lantas bisa diuji-cobakan dulu di sejumlah sekolah PAUD di lingkungan geografis dan sosiologis yang berbeda-beda secara lebih cermat, untuk kemudian bisa dijadikan model dan rujukan yang memang sudah matang untuk bisa diadopsi masing-masing sekolah sesuai dengan karakter permodelannya.
Dengan komunikasi yang terjalin baik antara para pihak, terutama dari satuan PAUD, para orang tua murid dan mereka yang ada di struktur, keinginan bersama untuk menapaki normal baru menjadi lebih ringan dan bahkan membangkitkan antusiasme bersama.
Penulis: Laurentius BW, Mahasiwa Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana.