Home Profile Ekspektasi Dan Kontroversi Vaksinasi Covid-19

Ekspektasi Dan Kontroversi Vaksinasi Covid-19

0
SHARE

Jakarta, REPORT INDONESIA – Hadirnya vaksin Covid-19 disambut dengan ekspektasi tapi juga muncul kontroversi. Vaksin Covid-19 memunculkan ekspektasi harapan berakhirnya pandemi. Namun di lain pihak juga terdapat kontroversi silang pendapat, terutama berkaitan dengan kecemasan keamanannya serta keraguan kelaikannya yang bahkan dapat berujung dengan penolakan.

HARAPAN BERAKHIRNYA PANDEMI
Vaksin Covid-19 menumbuhkan harapan berakhirnya pandemi, malah terdapat antusias yang berlebihan hingga cenderung pada euphoria bahwa keadaan akan segera normal kembali seperti sebelum pandemi.

Namun patut disadari, selama ini berdasarkan pengalaman mengatasi wabah penyakit, ternyata kalau hanya dengan melakukan vaksinasi saja tidak akan mampu mengakhiri pandemi. Meski besar konstribusinya, tapi vaksinasi hanya salah satu cara dari seluruh upaya yang secara simultan harus dijalankan untuk menghentikan pandemi. Perlu dihindari harapan yang berlebihan agar tidak terjadi rasa aman yang semu.

Dewasa ini terdapat beberapa vaksin Covid-19 yang telah mendapatkan Persetujuan Penggunaan Dalam Kondisi Darurat Atau Emergency Use Authorization (EUA) dari otoritas regulator kesehatan. Sementara cukup banyak lagi yang masih dalam proses penelitian, termasuk vaksin Merah Putih dari Indonesia. Secara internasional, penetapan ini telah memenuhi kriteria WHO, yakni terdapat cukup bukti ilmiah terkait aspek keamanan dan khasiat, memiliki mutu yang memenuhi standar yang berlaku serta dibuat berdasarkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), dan belum ada alternatif yang memadai dalam mengatasi kedaruratan kesehatan.

Saat ini vaksin CoronaVac produksi Sinovac telah mendapatkan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat di Indonesia dan di beberapa negara lain. Berdasarkan uji klinis di Bandung, vaksin Sinovac menunjukkan imunogenitas sebesar 99,23%. Vaksin Sinovac menunjukkan efikasi 65,3% yang melebihi persyaratan minimal WHO sebesar 50%.

Hasil uji klinis di Bandung menunjukkan imunogenitas sebesar 99,23% berarti hampir semua yang mendapatkan vaksin Sinovac dalam tubuhnya terbentuk antibodi yang secara spesifik mampu membunuh atau menetralkan Virus Corona Baru (SARS-CoV-2). Vaksinasi Sinovac mengakibatkan berlangsungnya respon imunitas tubuh hingga mampu membentuk antibodi yang spesifik terhadap Virus Corona Baru (SARS-CoV-2) yang merupakan virus penyebab Covid-19. Akan tetapi pembentukan antibodi tidak serta merta, melainkan membutuhkan waktu. Kemudian untuk meningkatkan pembentukan antibodi perlu dilakukan 2 kali penyuntikan vaksinasi dengan selang waktu 2 minggu. Antibodi akan mencapai jumlah yang optimal sekitar 3 bulan setelah vaksinasi.

Sedang efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3% menunjukkan kemampuan menurunkan kemungkinan terkena penyakit COVID-19 hingga 65,3%. Efikasi adalah tingkat penurunan kemungkinan terkena penyakit pada mereka yang telah divaksinasi, dibandingkan dengan mereka yang tidak divaksinasi. Dengan demikian efikasi 65,3% berarti pada mereka yang telah divaksinasi akan terjadi penurunan penyakit sebesar 65,3%, dibandingkan dengan mereka yang tidak divaksinasi.

Dengan efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3% misalnya kalau tidak dilakukan vaksinasi akan terjadi 100 orang terkena Covid-19, maka dengan vaksinasi orang yang terkena bukannya 100 orang tetapi berkurang 65 orang yang terhindar dari Covid-19. Di lain pihak hal ini berarti masih ada 35 orang yang terkena Covid-19, meskipun dalam tubuhnya sudah terdapat antibodi. Dengan demikian bila dilakukan vaksinasi Sinovac terjadi penurunan jumlah orang yang terkena Covid-19 secara signifikan, namun kemungkinan terkena Covid-19 tetap ada. Meski diperkirakan kalau sudah divaksinasi dan tetap terkena Covid-19 maka manifestasi penyakitnya tidak separah bila tidak dilakukan vaksinasi, karena dalam tubuhnya sudah terdapat antibodi.

Kendatipun sudah dilakukan vaksinasi namun tetap masih ada kemungkinan terkena Covid-19, walau kemungkinan tersebut sudah sangat menurun bila dibandingkan dengan tidak divaksinasi. Dengan demikian selain vaksinasi, maka upaya pencegahan lainnya tetap perlu dijalankan. Tetap perlu dijalankan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

Dengan vaksinasi, penurunan risiko terkena penyakit dapat dilihat dari efikasinya. Memakai masker bedah diperkirakan mengurangi risiko tertular Covid-19 sampai 70% (berarti masih ada 30% kemungkinan tertular/menulari), sedang masker kain hanya mengurangi risiko sampai 45%. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir akan mengurangi risiko hanya sampai 45%. Sedangkan menjaga jarak minimum 2 meter akan mengurangi risiko sampai 85%.

Dalam mewujudkan ekspetansi berakhirnya pandemi Covid-19, maka perlu secara simultan dijalankan kombinasi pelbagai upaya pencegahan yang secara akumulatif akan sangat meminimalisir kemungkinan terjangkit. Vaksinasi yang dijalankan harus tetap disertai memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Dengan demikian dapat dikatakan perlu dilakukan pencegahan Covid-19 secara ‘luar dalam’.

Dengan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, maka virus Corona Baru yang terdapat di luar tubuh tidak akan memasuki tubuh. Sedangkan vaksinasi akan menyebabkan dalam tubuh akan terdapat antibodi untuk mematikan virus Corona Baru. Diharapkan dengan secara simultan menjalan vaksinasi, memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, maka akan meningkatkan kemungkinan terhindar dari Covid-19, sehingga dapat secara drastis memutus mata rantai penularan sampai berakhirnya pandemi Covid-19.

CEMAS DAN RAGU
Kerap dilontarkan kecemasan terutama mengenai keamanan vaksin mengingat proses pembuatannya yang hanya sekitar setahun. Padahal biasanya pembuatan vaksin membutuhkan 10 – 15 tahun karena dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan penelaahan yang seksama. Timbul kesan, pembuatan vaksin Covid-19 dilakukan dengan menerabas prosedur.

Sebenarnya proses penemuan vaksin Covid-19 yang berlangsung dalam waktu pendek disebabkan terdapat beberapa faktor yang mendukung. Hal utama yang mendukung, karena memanfaatkan hasil penelitian serupa yang telah dilakukan terhadap virus corona lainnya yang memiliki kemiripan yakni virus penyakit SARS dan MERS. Selain itu percepatan dilakukan dengan memangkas proses birokrasi penelitian. Namun uji klinis tahap 1, 2, dan 3, tetap dilakukan sebagai prosedur baku pembuktian ilmiah yang ketat.

Patut diperhatikan bahwa penelitian untuk mendapatkan vaksin Covid-19 dilakukan oleh para ilmuwan yang selama ini dikenal integritasnya, serta mereka tentunya tidak menghendaki reputasinya runtuh. Di lain pihak, di kalangan para ilmuwan juga berlangsung mekanisme saling penelaahan secara seksama terhadap penelitian yang dihasilkan (peer review).

Vaksin Sinovac berdasarkan uji klinis di Bandung menunjukkan efikasi 65,3%, sedangkan di Turki menunjukkan 91,25%, serta di Brazil sebesar 78%. Hal ini pada beberapa kalangan menimbulkan keraguan akan akurasi dan keterandalan penelitian yang dilakukan. Patut dipahami, perbedaan tersebut karena subyek penelitian yang berbeda yakni uji klinis di Turki dilakukan pada 20% tenaga kesehatan dan 80% pekerja risiko tinggi seperti supir taksi dan pedagang pasar, kemudian di Brasil keseluruhannya dilakukan terhadap tenaga kesehatan, sedang di Indonesia uji klinik dilakukan pada masyarakat umum. Kelompok subyek penelitian yang berbeda dengan tingkat risiko yang berbeda menghasilkan tingkat efikasi yang berbeda pula.

Selain Sinovac terdapat pula vaksin Covid-19 buatan Pfizer dengan efikasi 95%, buatan Moderna dengan efikasi 94,5% , dan buatan AstraZeneca dengan efikasi hingga 90%. Dari kenyataan ini muncul kontroversi yang mempertanyakan mengapa tidak menggunakan vaksin dengan efikasi yang tinggi. Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa vaksin Pfizer membutuhkan tempat penyimpanan hingga suhu -70 derajat Celsius dan vaksin Moderna -20 derajat Celsius. Mengingat sulitnya menyediakan fasilitas penyimpanan dengan temperatur tersebut, serta Indonesia dengan wilayahnya yang luas dan banyak yang sulit dijangkau, maka diperkirakan sangat sulit untuk pendistribusiannya, bahkan hampir mustahil.

Permasalahan lainnya adalah kesulitan pengadaan, dimana sebagian besar vaksin sudah diborong negara-negara lain. Sedangkan Indonesia untuk mencapai imunitas komunitas (herd imunity) perlu dilakukan vaksinasi terhadap 70% penduduk yaitu sekitar 181,5 juta orang berarti membutuhkan sekitar 363 juta vaksin. Dengan demikian karena mendesaknya kebutuhan maka pilihan terutama pada vaksin yang memungkinkan dapat segera diperoleh.

Meski terdapat pelbagai hasil uji coba efikasi yang berbeda, namun kesemuanya masih di atas standar WHO yaitu minimal 50%. Dalam hal ini tentunya WHO menetapkan standar tersebut berdasarkan pertimbangan dan perhitungan yang masak-masak berdasarkan permasalahan dan kebutuhan untuk segera mengatasi pandemi Covid-19.

Berdasarkan uji klinis, Vaksin Sinovac aman dengan kejadian efek samping yang ditimbulkan bersifat ringan hingga sedang. Efek samping yang bersifat lokal berupa nyeri, indurasi (iritasi), kemerahan dan pembengkakan. Selain itu terdapat efek samping sistemik berupa myalgia (nyeri otot), fatigue, dan demam. Seluruh efek samping tersebut tidak berbahaya dan dapat pulih kembali.

Kontroversi muncul dengan tersiarnya kabar 23 orang di Norwegia meninggal setelah disuntik vaksin Covid-19 buatan Pfizer. Berdasarkan pemberitaan British Medical Journal (BMJ), jurnal kedokteran bereputasi internasional, kematian tersebut terjadi pada 23 orang usia lanjut dengan kerentaan ( frailty) yang parah, hingga akibat sampingan yang ringan pun dapat menyebabkan kematian, padahal pada orang yang lebih muda dan fit tidak menimbulkan akibat yang parah. Tidak terlihat hubungan nyata antara kematian tersebut dengan vaksinasi. Patut dipahami bahwa vaksinasi telah diberikan pada sekitar 20.000 lansia di Norwegia, dan umumnya di antara lansia tersebut setiap minggu meninggal 400 orang yang bukan disebabkan oleh vaksinasi.

Berdasarkan kenyataan bahwasanya hingga saat inipun masih banyak yang belum diketahui mengenai penyakit Covid-19 demikian pula vaksinnya, maka ada yang menunda vaksinasi dan bersikap wait and see alias menunggu dan mengamati perkembangan keadaan. Patut disadari, bahwa menunda-nunda vaksinasi dapat menyebabkan sulitnya penurunan tingkat penyebaran penyakit. Malah kalau tidak hati-hati, mereka yang menunda vaksinasi tidak mustahil akan terjangkit Covid-19. Selain itu dengan semakin banyaknya dan semakin lamanya penyebaran penyakit, maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya mutasi virus Corona Baru (SARS-CoV-2). Virus Corona Baru (SARS-CoV-2) yang bermutasi dikhawatirkan lebih menyulitkan penanganannya.

KOMPLEKSITAS COVID-19
Selain vaksinasi sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu dilakukan untuk keberhasilan dalam peperangan mengatasi pandemi Covid-19. Bersamaan dengan vaksinasi perlu dilakukan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, serta juga mutlak harus dilakukan pemeriksaan dan pelacakan secara meluas, serta juga isolasi dan perawatan bagi mereka yang terkena Covid-19.

Kemudian dalam pelaksanaannya masih banyak yang harus dipenuhi menyangkut kelaikan pembiayaan, produksi dan distribusi vaksin, tersedianya sarana, fasilitas dan tenaga kesehatan, kesiapan masyarakat, dan juga political will pemerintah maupun masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan kompleksitas permasalahan Covid-19.
Pada akhirnya diperlukan kebersamaan kita semua bergandeng tangan dan bekerja keras dalam mengatasi Covid-19!

===========
Penulis: Dr Paulus Januar, drg, MS – Pakar Kesehatan Masyarakat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here