Home Profile Apakah Omnibus Law Meningkatkan Nasib Rakyat ?

Apakah Omnibus Law Meningkatkan Nasib Rakyat ?

0
SHARE

Jakarta, REPORT INDONESIA – Apakah omnibus law cipta kerja meningkatkan nasib rakyat atau makin menyengsarakan, menjadi silang pendapat yang sengit. Memang perlu jernih menelaah UU Cipta Kerja dari “belantara” pasal-pasalnya yang berjumlah 1203 berikut penafsiran dan latar belakangnya maupun implikasinya.

NASIB BURUH
Apakah semakin meningkatkan atau menyengsarakan buruh dapat ditelaah melalui membandingaknnya dengan UU Tenaga Kerja yaitu UU No. 13 tahun 2003 yang diubah dengan UU Cipta kerja. Apakah perubahannya menjadi lebih baik atau malah lebih buruk.

Dalam kaitan dengan pengaturan nasib buruh, pada UU Tenaga Kerja paling tidak terdapat dua hal pokok. Pertama, pada UU tersebut diatur PHK tidak dapat dilakukan dengan terlalu mudah. Contoh ekstrimnya, PHK terhadap pegawai yang terbukti berbuat curang pun tetap perlu menempuh serangkaian proses yang tidak mudah, serta kemudian tetap harus diberi pesangon maksimum sebanyak 32 bulan gaji. Kedua, agar tidak memberatkan pengusaha maka terdapat peluang buruh kontrak maksimun 3 tahun, dan outsourcing (alih daya) terbatas pada 5 jenis pekerjaan. Ke dua hal ini dapat dipandang sebagai kesetimbangan “take and give” antara kepentingan buruh dan pengusaha. Meski selama ini permasalahannya, pengusaha memandang ketentuan PHK sebagai sesuatu yang memberatkan, sedang kalangan buruh menganggap sistem kontrak dan outsouring tidak memberikan kepastian masa depan.

Ternyata pada UU Cipta Kerja sesuai dengan semangatnya melakukan deregulasi, maka proses PHK dibuat lebih mudah. Sedangkan maksimum pesangon untuk PHK dari 32 bulan gaji diturunkan menjadi 25 bulan. Namun di lain pihak, masa kontrak yang tadinya maksimal 3 tahun menjadi tidak terbatas hingga bisa saja sampai usia pensiun tetap buruh kontrak, dengan catatan kontraknya terus diperpanjang, hingga bagaimana kalau tidak? Sedang outsourcing yang tadinya terbatas pada 5 jenis pekerjaan, kini dapat dilakukan pada semua jenis pekerjaan.

Dengan UU Cipta Kerja, beban majikan menjadi bertambah ringan. Sedangkan nasib buruh semakin dilanda ketidak pastian. Belum lagi ketentuan tentang upah minimum dan jaminan kerja seperti cuti dan sebagainya yang dipandang semakin meringankan majikan, namun sebaliknya berakibat kaum buruh dikhawatirkan semakin terpuruk nasibnya. Hingga pada gilirannya gambaran kenyataan ini menimbulkan pelbagai keresahan dan gejolak.

JAMINAN SOSIAL
Patut diakui beban pengusaha yang terlalu berat akan menurunkan daya saing dan lebih jauh lagi kesulitan berusaha dapat menyebabkan kurangnya lapangan kerja. Namun di lain pihak kaum buruh juga mutlak membutuhkan kesejahteraan hidup. Jalan keluarnya adalah dengan bersama-sama secara kolektif menanggung beban dalam bentuk jaminan sosial, terutama bagi kaum buruh.

Permasalahannya pada UU Cipta Kerja yang cenderung lebih ditekankan adalah pelonggaran beban pengusaha, sedangkan jaminan sosial kurang ditata terlebih dahulu. Agaknya untuk menghindari keresahan kalangan buruh, peringanan kewajiban pengusaha secara simultan disertai dengan penataan dan peningkatan jaminan sosial, khususnya dengan adanya jaminan kehilangan pekerjaaan sebagai bentuk jaminan baru yang terdapat pada UU Cipta Kerja. Kekhawatiran yang timbul, peringanan beban pengusaha dengan segera dijalankan, sedangkan penataan jaminan sosial terseok-seok tertinggal di belakang.

MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN
Tujuan mulia ditetapkannya UU Cipta Kerja adalah sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun dalam menetapkan UU Cipta Kerja terlihat kecenderungan untuk menerabas prinsip-prinsip pembuatan suatu ketetapan, terutama dirasakan kurang dijalankannya musyawarah secara meluas dan mendalam. Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa tujuan mulia perlu dicapai dengan cara yang mulia pula. Tujuan mulia tidak dapat dicapai dengan cara yang tidak dapat dibenarkan. Proses UU Cipta Kerja tidak berhenti pada penetapan UU. Setelah UU Cipta Kerja ditetapkan diperlukan 516 buah peraturan untuk pelaksanaannya. Dalam penetapan peraturan pelaksanaannya perlu diperhatikan bahwa tujuan mulia UU tersebut baru akan tercapai bilamana cara dan proses pembuatannya dilakukan melalui mekanisme yang baik, khususnya perlu secara deliberatif memperhitungkan aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Pada UU Cipta Kerja ditetapkan kemudahan untuk investasi dan berusaha terutama dengan debirokratisasi proses perijinan dan kegiatan usaha. Memang merupakan kebijakan yang baik, namun perlu diingat pengalaman di masa lalu menunjukkan, deregulasi dapat dimanfaatkan oleh pengusaha yang rakus dan nakal untuk disalahgunakan. Bila hal ini yang terjadi maka UU Cipta Kerja akan semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan yang didambakannya. Hingga dalam pelaksanaannya perlu dijalankan secara taat azas dan dikembangkannya sistem pengawasan yang baik.

Dewasa ini kesejahteraan rakyat tidak hanya menyangkut kondisi aktual yang dialami, namun juga berjangka panjang dengan memikirkan generasi mendatang. Berdasarkan hal tersebut berkembang konsep tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan memperhatikan pelestarian lingkungan hidup. Deregulasi pada UU Cipta Kerja dikhawatirkan bahwasanya kemudahan melakukan investasi dan usaha berdampak kurang memperhatikan pelestarian lingkungan hidup terutama dalam aspek pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup serta amdal dan juga penindakan terhadap pelanggaran lingkungan hidup. Padahal pelestarian lingkungan merupakan unsur pokok perwujudan kesejahteraan baik kini maupun masa mendatang.

Akhirnya memang dengan UU Cipta Kerja tidak dapat mengabaikan nasib buruh, seraya memperhatikan dengan sungguh-sungguh proses investasi serta pelestarian lingkungan hidup. Jangan sampai yang terjadi ibu pertiwi diobral untuk investasi dan usaha asing dan kaum modal besar, serta kaum buruh dijual murah.
————————————-
Penulis: Dr Paulus Januar, Aktivis Sosial

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here