Jakarta, REPORT INDONESIA – Penetapan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diikuti dengan pengunduran diri yang bersangkutan dari jajaran kabinet Jokowi-Jusuf Kalla. Untuk mengisi kekosongan jabatan, Jokowi sebaiknya cukup menunjuk pelaksana tugas yang bisa dirangkap oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani sebagai Menpora ad interim. Kemenpora adalah salah satu kementerian dalam rumpun koordinasi Kemenko PMK. Pilihan menunjuk menteri ad interim ini lebih tepat mengingat masa jabatan kabinet Jokowi Jilid I akan berakhir pada 20 Oktober mendatang.
Demikian ungkap Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis(19/9/2019).
” Alternatif lain yang bisa dipilih adalah menunjuk sosok baru sebagai menteri definitif. Akan tetapi, untuk memastikan kontinuitas, sebaiknya pilihan menteri definitif yang akan menjabat lebih kurang 1 bulan adalah sosok yang juga telah dipilih Jokowi untuk mengisi posisi Menpora pada Kabinet Kerja Jilid II Oktober mendatang,” jelasnya.
Menurut Ismail Hasani yang juga menjadi Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa satu hal yang harus dipastikan dalam mengisi posisi menteri baru, termasuk mengisi Kabinet Kerja Jilid II nanti, Jokowi tidak perlu mempertimbangkan klaim partai-partai politik yang merasa bahwa kementerian tertentu adalah portofolio kementerian yang harus diisi kader partainya. Sebagai contoh, Menpora saat ini diisi oleh kader PKB, maka biasanya klaim yang muncul adalah bahwa sosok yang paling cocok mengisi kursi Menpora adalah kader PKB. Jokowi tidak perlu mempertimbangkan klaim-klaim seperti ini.
Menurutnya, selama ini, justru klaim portofolio partai telah membangun jejaring birokrasi sektarian yang loyalitasnya memusat pada sosok menteri dan partai politiknya. Bahkan terdapat kementerian yang selama 10 dan 15 tahun diduduki oleh menteri dari kader partai politik tertentu. Kebiasaan ini harus dipangkas, karena politisasi birokrasi oleh partai politik diduga kuat telah menjadi instrumen pelanggengan praktik koruptif termasuk dalam rekrutmen dan promosi jabatan.
Oleh karena itulah, menurut Ismail Hasani maka Jokowi harus mengabaikan klaim-klaim itu dan jangan membiarkan mesin birokrasi kementerian tertentu berpolitik dan dikendalikan oleh partai politik. Zona nyaman potensi korupsi ini harus diusik dengan menunjuk menteri-menteri secara acak. Dengan cara ini, potensi politisasi birokrasi dapat dicegah dan loyalitas birokrasi memusat pada mandat legal dan konstitusionalnya, yakni memberikan pelayanan dan menjalankan program pemerintah untuk kemakmuran rakyat; bukan kemakmuran kelompok dan golongan.(Red)