Jakarta, REPORT INDONESIA – Dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu(25/11/2020), Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos menyatakan sebagai berikut:
1. Kasus penembakan terhadap warga sipil kembali terjadi di Papua. Penembakan terjadi dua kali pada hari yang sama, namun berbeda waktu. Berdasarkan informasi yang didapat, penembakan pertama terjadi pada Jumat (19/11/2020), sekitar pukul 11.00. Adapun yang menjadi korban berinisial AT dan MM yang merupakan dua pelajar SMAN 1 dan SMKN 1 Ilaga. Penembakan kedua terjadi selang 1 jam berikutnya, pukul 12.00 siang tak jauh dari lokasi pertama. Adapun korban penembakan berinisial AA (ASN Dinas Pertanian), WT (17), WM (12). Dua korban terakhir merupakan siswa Sekolah Alkitab Eromaga dan siswa SD YPPK Mudidok. Mereka hendak merayakan Natal bersama orang tua di ibu kota Ilaga.
2. Kasus penembakan ini tentu semakin memperpanjang catatan penembakan di Papua, bahkan belum lama terjadi, yakni penembakan terhadap pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada Sabtu (19/9). Beberapa waktu sebelumnya, pada 18 Juli lalu, dua warga sipil berinisial EK (40) dan putranya SK (20) juga menjadi korban penembakan aparat di Nduga. Kemudian pada 13 April, EAB (19) dan RW (23) juga menjadi korban penembakan yang oleh aparat di Distrik Kwamki Narama, Timika Papua.
3. Rentetan kasus penembakan ini seharusnya membuat tindakan pemerintah dalam penanganan kasus di Papua lebih terukur, continue, solutif, dan berkesinambungan. Dalam konteks kasus penembakan Pendeta Yeremia misalnya, sampai sekarang belum terdapat informasi terkait tindaklanjut pemerintah atas hasil investigasi TGPF yang menemukan ada dugaan keterlibatan anggota aparat dalam penembakan yang menewaskan Pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua. Termasuk tindaklanjut atas hasil investigasi Komnas HAM yang eksplisit menyebut nama terduga pelaku penembakan. Lambannya pemerintah dalam menindaklanjuti pelbagai laporan dan hasil investigasi beberapa pihak tersebut berimplikasi terhadap tersendatnya penegakan hukum terhadap terduga pelaku. Sehingga, pelbagai kasus penembakan di Papua akan menguap begitu saja tanpa ada kejelasan siapa pelaku dan penegakan hukumnya.
4. Pelbagai kasus penembakan yang memakan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil, semakin memperlihatkan pendekatan keamanan tidak menjadi jawaban atas persoalan konflik di tanah Papua. Pendekatan keamanan hanya akan menjadi api dalam sekam, karena perspektif keamanan dan stabilitas negara hanya mengedepankan cara bagaimana membuat kondisi yang tengah bergejolak kembali stabil dan kondusif, sementara substansi permasalahan luput. Pendekatan keamanan juga hanya akan semakin menambah daftar korban jiwa, terutama masyarakat sipil yang tidak bersalah.
5. Dalam penyelesaian konflik di Papua, Pemerintah pusat seharusnya mengedepankan bagaimana cara untuk memastikan rasa aman dan keamanan masyarakat Papua terlebih dahulu, mengingat warga sipil juga menjadi korban penembakan. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta aparat dan pihak kelompok bersenjata untuk melakukan kesepakatan penghentian permusuhan (cessation of hostilities) agar dialog mencari jalan damai dapat dilakukan, sehingga korban jiwa tidak ada lagi. Selain itu juga dapat dilakukan pendekatan kenegaraan dengan mengirimkan utusan khusus (special envoy) ke Papua untuk membangun komunikasi yang konstruktif dan menyelesaikan persoalan sampai keakar-akarnya dengan pihak-pihak terkait di Papua. Special Envoy ini juga harus dipastikan merupakan utusan yang dapat dipercaya dan diterima dengan baik oleh masyarakat Papua, sehingga utusan ini tidak dianggap bersifat formalitas atau politis dari pusat. Dengan demikian, upaya menjaga Papua tetap di NKRI dapat dilakukan tanpa senjata, karena upaya-upaya ini dapat mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana solutif, penyelesaian, atau pun pemecah masalah keamanan.(Red)