Jakarta, REPORT INDONESIA – Nicke Widyawati yang berasal dari luar (PLN) telah dilantik menjadi Direktur Utama Pertamina yang baru. Selamat Datang Bu Nicke, meski sebenarnya sudah menjabat Plt Dirut dalam beberapa bulan terakhir ini. Sebaiknya tidak perlu dipermasalahkan apakah Dirut Pertamina berasal dari luar atau dari dalam Pertamina. Dalam sejarahnya, pasca Ibnu Surowo, Dirut Pertamina nyaris semua berasal dari ‘orang luar’ dan mereka secara relatif sukses dalam membesarkan Pertamina. Sebut saja misalnya Piet Haryono mantan Dirjen Anggaran, Abdul Rachman Ramly mantan Dirut PT Timah, Martiono Hadianto mantan Dirjen Bea Cukai, Karen Agustiawan yang berasal dari perusahaan swasta. Dirut yang berasal dari orang dalam juga ada seperti: Faisal Abdaoe, Ariffi Nawawi, Ari Sumarno. Industri migas nasional saat ini terpuruk yang ditandai dengan sangat rendahnya produksi minyak mentah nasional dan sangat rendahnya kapasitas kilang dalam negeri, bukan karena figur Dirut yang berasal dari orang luar atau orang dalam, tapi lebih karena Sistem Tata Kelola Migas Nasional saat ini yang Salah pasca berlakunya UU Migas No.22/2001. UU Migas yg didorong oleh IMF ini telah merubah sistem tata kelola migas nasional sebelumnya dengan melucuti posisi dan peran Pertamina. Sebelum UU Migas, dengan UU No.8/1971 Pertamina mewakili negara sebagai pengelola kekayaan migas nasional yang ada diperut bumi dan sebagai Perusahaan Negara yang harus menenuhi kebutuhan BBM sesuai amanat Konstitusi. Karena kekayaan migas diperut bumi dikuasai dan dimilik oleh negara dan BBM termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, dengan UU No.8/1971 Pertamina dibentuk sebagai Perusahaan Minyak 100% Milik Negara dengan struktur perusahaan migas yang modern yang paling effisien, terintegrasi bergerak dari hulu hingga hilir (Integrated Oil Company) bukan perusahaan /pengelolaan yang bersifat Unbundling. Dengan UU Migas No.22/2001 sistem tata kelola dibawah pasal 33 UUD45 yang simpel dengan pola ‘B2B’ dirubah menjadi sistem yg birokratik dengan pola ‘B2G’ dimana kuasa Pertambangan dioper ke Pemerintah. Padahal Sistem dimana pengelola kekayaan migas suatu negara ditangani oleh Perusahaan Migas Nasionalnya, diterapkan di nyaris semua negara penghasil migas dunia seperti di semua Negara OPEC dan Non Opec seperti Malaysia, Mexico dan lain-lain. Fakta bahwa UU Migas No.22/2001 yang sudah cacat hukum karena MK sudah mencabut 17 pasalnya, dan telah menimbulkan ketidakpastian yang berkepanjangan, justru inilah yang menjadi faktor utama keterpurukan industri migas nasional saat ini. Rendahnya produksi minyak mentah dan rendahnya kapasitas kilang BBM ditengah kebutuhan BBM yang terus meningkat, menjadi salah satu TITIK LEMAH dari perekonomian dan ketahanan energi nasional saat ini. Impor migas yang sangat besar menjadi penyebab utama yang bersifat kronis dan langgeng (permanent) dari defisit perdagangan dan defisit neraca pembayaran, dan penyebab pelemahan nilai rupiah saat ini, siapapun Presudennya. Meski Komisi VII DPR RI sudah menyelesaikan Konsep Revisi UU Migas No.22/2001 dimana pengelola migas nasional dikembalikan dibawah Badan Usaha Khusus (Perusahaan Migas 100% Milik Negara – Pertamina) yang dibentuk dengan UU. Namun hingga saat ini belum diundangkan karena masih dalam proses di internal DPRRI (Baleg). Dalam Rapat Paripurna DPR RI beberapa bulan yang lalu, saya minta perhatian Pimpinan dan seluruh anggota DPRRI agar segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Revisi UU Migas No.22/2001 yang selain melanggar Konstitusi juga lebih banyak bersifat menghambat investasi migas.
(Dr. Kurtubi – Anggota Komisi VII DPR RI. Alumnus Colorado School of Mines dan Institut Francais du Petrole).