Home Report Melawan Oligarki Yang Membajak Demokrasi Kita Hari Ini: Tugas Kesejarahan LP3ES

Melawan Oligarki Yang Membajak Demokrasi Kita Hari Ini: Tugas Kesejarahan LP3ES

0
SHARE

Jakarta, REPORT INDONESIA – Hari ini LP3ES merayakan ulang tahunnya yang ke-49 alias hampir separuh abad.  Lembaga yang telah melahirkan banyak intelektual yang menerangi langit Indonesia, menteri hingga presiden ini telah hampir separuh abad mewarnai Indonesia.
Ya, Presiden Abdurrahman Wahid adalah salah satu aktivis dan intelektual yang pernah
berkiprah di LP3ES. Lalu ada banyak Menteri. Mereka antara lain: Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ketua Dewan Pembina LP3ES Pertama, yang menjadi Menteri
Perdagangan dan kemudian Menristek. Kemudian ada Emil Salim Ketua Dewan Pembina LP3ES kedua, yang menjadi Menteri KLH. Pada salah satu Kabinet Pembangunan, tercatat pula nama Dorodjatun Kuntjorodjakti yang menjadi Menko Ekuin. Ia pernah pula menjadi Ketua Dewan Pembina LP3ES.
Pada level staf LP3ES, tercatat sejumlah nama yang pernah menduduki kursi menteri.
Yang pertama adalah Manuel Kaisiepo yang menjadi Menteri Daerah Tertinggal di era
Presiden Megawati. Ia putra Papua dari Pulau Biak. Ayahnya pernah menjadi Gubernur Papua
yang waktu itu masih bernama Provinsi Irian Jaya. Di LP3ES ia menjadi redaktur Majalah
Prisma. Lalu ada pula mantan staf LP3ES lain yang pernah menjadi menteri. Mereka adalah
Adrinof Chaniago (mantan Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas, Ferry Mursyidan Baldan (Menteri Pertanahan dan Agraria) dan Rizal Ramli (Menko Kemaritiman).
Lembaga ini dipenuhi tokoh-tokoh pemikir yang sangat berpengaruh di Indonesia:
Ismid Hadad, M. Dawam Rahardjo, Daniel Dhakidae, Aswab Mahasin, Amir Karamoy. Lalu
ada pula: Soedjatmoko, Taufik Abdullah, Nono Anwar Makarim, S. B. Judono, Dorodjatun
Kuntjara-Jakti, Arief Budiman, Adnan Buyung Nasution, Harlan Bekti, Jusuf Jonodipuro,
Sjahrir, Abdullah Sjarwani, Manuel Kaisiepo, Rustam Ibrahim, Imam Ahmad, Ison Basuni dan
lain-lain. Belakangan, saya juga “melihat” Ignas Kleden, Abdurrahman Wahid, Ong Hok Ham,
Farhan Bulkin, Ismed Natsir dan Djohan Effendi serta Vedi Hadiz.
Dia yang tidak tahu sejarah adalah laksana selembar daun yang tidak menyadari bahwa
dia hanyalah bagian dari sebatang ranting pada sebuah dahan dari sebuah pohon. Ungkapan ini tampaknya yang menjadi landasan pemikiran mengapa pada perayaan hari ulang tahun ke-49
ini, LP3ES menghadirkan pendiri LP3ES: Ismid Hadad dan tokoh senior yang juga merupakan
intelektual terkemuka Indonesia: Fachry Ali. Keduanya memberikan orasi tentang sejarah
kelahiran LP3ES pada 1971, konteks ekonomi politik yang melatarbelakangi kelahirannya,
mengisahkan perjalanan peran think tank ini selama Orde Baru dan mencoba merumuskan
peran yang tepat untuk hari ini.
Fachry memulai orasinya dengan satu pertanyaan menarik: siapakah tokoh-tokoh yang menghidupi, atau dalam istilah Fachry Ali disebut sebagai konstituen, LP3ES? Mereka adalah metropolitan super sctructur yaitu sekelompok anak muda yang terpelajar, menguasai bahasa asing, mobile dan ingin memberi jarak pada masa lalu. LP3ES berisi orang-orang muda yang jengah dengan otoriterisme Sukarno dan kebijakannya yang menyebabkan inflasi ekonomi.
Sekelompok anak muda ini adalah juga unsur-unsur dari Masyumi dan PSI yang waktu itu
diberangus oleh Sukarno. Maka pada mulanya, suasana kebatinan yang melatarbelakangi
kelahiran LP3ES adalah perlawanan dan kritik terhadap rezim kekuasaan pada masa itu.
Lebih lanjut Fachry juga menyebut tokoh-tokoh LP3ES sebagai modernizing intellectual yaitu kelompok intelektual yang mau melakukan modernisasi dan melakukan pembangunan. Di sini ada Sumitro, Widjojo Nitisastro dan Emil Salim yang memberikan fondasi bagi kelahiran Orde Baru. Pada mulanya LP3ES memang mesra dengan Orde Baru.
Intelektual LP3ES memberikan blue print bagi ideologi pembangunan Orde Baru. Ide-ide
pembangunan ini terefleksi dari topik-topik Prisma, jurnal terbitan LP3ES, yang menjadi kiblat intelektual Indonesia.
Namun seiring waktu, ternyata Orde Baru terbukti berubah menjadi otoriter terutama
pada tahun 1980-an dan mulai memberangus kelompok kritis, media dan menggusur kaum
miskin demi pembangunan. Sejak saat itu LP3ES berbalik mengambil posisi kritis kepada Orde Baru. Hal ini lagi-lagi terefleksi pada terbitan Prisma pada waktu itu yang mulai menyorot topik-topik yang membela kaum terpinggirkan.
Berangkat dari semua masa lalu itu, maka spirit LP3ES sejak awal adalah: melawan
otoriterisme, mewujudkan demokrasi, menciptakan kesejahteraan ekonomi. Itu adalah ruh yang menghidupi LP3ES dulu dan harus tetap di jaga hari ini. Dalam konteks politik dewasa ini, bagi Fachry Ali, musuh besarnya adalah melawan oligarki yaitu kelompok yang menjadi kelas kapitalis dan penguasa pada masa Orde Baru sebagai kapitalis bentukan negara (state induced capitalism). Merekalah yang telah membajak demokrasi dan bertanggungjawab bagi
bobroknya peradaban politik kita hari ini. Ini adalah tugas kesejarahan yang jauh lebih berat
yang menjadi tantangan bagi generasi muda LP3ES hari ini. Ismid Hadad yang datang belakangan memberikan narasinya yang melengkapi Fachry. Jika Fachry bertutur lebih sebagai pengamat, maka Ismid bertutur sepenuhnya sebagai “insider” yang melahirkan dan menjadi legenda hidup Lembaga ini dan masih berada di LP3ES hingga hari ini.
Dia menuturkan bahwa ide mendirikan organisasi LP3ES adalah lebih karena
pemikiran sebagai aktivis. Bukan pemikiran filsuf. Karena masa Sukarno tidak ada kebebasan. Ekonomi memburuk. Sukarno diktator. Ismid dan kawan-kawannya menginginkan perubahan.
Melengkapi Fachry, Ismid kembali menerangkan peran LP3ES dalam pembangunan pada masa awal Orde Baru yang melahirkan istilah “Mafia Berkeley”.
Demikian intisari orasi Fachry Ali dan Ismid Hadad yang bisa dibaca sebagai pengantar
makalah Fachry Ali yang panjang.  (Red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here