Jakarta, REPORT INDONESIA – Social Media For Civic Education(SMCE) kembali mengadakan acara Diskusi Media dengan Tema:” Fitrah Media Sosial: Jejaring Sosial Atau Jejaring Politik “, di Cafe Poelang Kampoeng Jl. Margonda Depok, Senin(7/5/2018) yang dihadiri oleh narasumber diantaranya, Auri Jaya, Ketua Serikat Media Siber Indonesia, Neno Warisman, Pegiat Media Sosial dan Jodhi Yudono, Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia.
Menurut Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia, Jodhi Yudono, wartawan adalah pilar keempat dari demokrasi, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif.
” Media sosial sebetulnya sudah menjadi pilar kelima dari sebuah demokrasi,” ujarnya.
Karena menurut Jodhi Yudono, pada hakekatnya sosial media adalah wahana untuk berkomunikasi. Disitu ada ruang yang sangat bebas , bahkan bisa dikatakan tidak ada kontrol.
” Di Indonesia perkembangan sosial media sudah sangat pesat dan sosial media sudah menjadi jalan tol, utk semua media, baik media konvensional maupun media portal news itu sudah tergantung dengan sosial media,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Serikat Media Siber Indonesia, Auri Jaya menyatakan sepakat untuk membedakan medsos dengan media konvensional.
” Kalau media konvensional itu ada penanggung jawabnya, ada pemrednya, ada wartawannya, ada perusahaannya. Media konvensional secara hukum tunduk pada UU Pers. Jika ada sengketa masalah pemberitaan itu disesuaikan dengan dewan pers. Wartawan media konvensional juga diwajibkan memiliki sertifikasi dan kompetensi dari Dewan Pers selaku regulatornya,” ungkapnya.
Menurut Auri Jaya, sedangkan sosial media adalah suatu wahana atau suatu platform yang disitu ada kebebasan, artinya masyarakat atau siapa saja bisa menggunakan. Jika ada sengketa yang menyangkut karya tulis yang ada di media sosial, diselesaikan melalui pihak Kepolisian, bisa menggunakan UU ITE atau pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, itu ranahnya di Kepolisian.
Sedangkan menurut Pegiat Media Sosial, Neno Warisman, karena dinamika di tahun politik sangat tinggi, jadi kita butuh sikap yang lentur.
” Misalnya karena ini abstraktur institusion, yang tidak ada organisasinya, tidak ada ketuanya, jadi kita menggelindingkan saja seperti aksi Hastag 2019 Ganti Presiden, jelas pada koridor konstitusi. Yang kita tuju adalah Indonesia yang bermartabat,” jelasnya. (Mistqola)