Home Report Apakah Korban Cyberbullying Berpotensi Menjadi Pelaku ?

Apakah Korban Cyberbullying Berpotensi Menjadi Pelaku ?

0
SHARE
Penulis artikel: Niken Larasati Mahasiswi London School of Public Relations, Semester 3

Saat ini perkembangan teknologi sudah sangat maju, membuat kita tidak perlu bertatap muka dengan seseorang karena kita mampu berkomunikasi dengan cepat dan praktis. Media online atau media sosial pada zaman sekarang bukan lagi hal yang asing. Dari anak-anak hingga orang dewasa pasti mengenal dan menggunakan media online untuk berkomunikasi dan untuk memperoleh banyak informasi.

Perkembangan teknologi itu sangat berpengaruh terhadap sikap tindakan dan sikap mental anggota masyarakat. Kemajuan yang dicapai di bidang teknologi sudah pasti akan mempengaruhi perubahan dalam masyarakat.

Hal ini membuat banyak orang yang tidak menggunakan media online dengan baik dan benar, melainkan menggunakannya untuk hal-hal yang negatif. Salah satu dampak negatif yang sudah tidak asing lagi dalam penggunaan media ini adalah Cyberbullying yang merupakan salah satu bagian dari Bullying.

Bullying adalah perilaku agresif disengaja yang menggunakan ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan. Bullying bisa didefinisikan juga sebagai suatu bentuk kekerasan yang dilakukan individu atau sekelompok yang dilakukan secara terus menerus. Pelaku Bullying itu sendiri juga memilki sifat yang ingin menjadi otoriter atau ingin menguasai sekelilingnya.

Pengertian dari Cyberbullying adalah suatu perbuatan menghina, mempermalukan, mengintimidasi dan mengancam seseorang dengan menggunakan informasi elektronik atau dokumen elektronik di dalam cyberspace. Cyberbullying sering terjadi di dalam situs-situs jejaring sosial (social networking sites) yang pada saat ini sedang popular dikalangan masyarakat dan umumnya korban dari cyberbullying adalah anak-anak.

Berbeda dengan bullying yang terjadi dengan kekerasan baik fisik maupun secara psikis. Cyberbullying terbatas hanya mencakup kekerasan sacara verbal saja yang menyerang kondisi psikis korbannya. Seseorang yang paling berpotensi menjadi pelaku cyberbullying adalah anak remaja. Biasanya sekitaran umur 13 – 18 tahunan yang masih rentan mencari jati dirinya dan masih berperilaku kekanak-kanakan.

Namun dengan seiringnya perkembangan pelaku cyberbullying pada saat ini mulai dari umur 9–18 tahun. Karena pada zaman ini anak-anak dibawah umur sudah diberikan handphone/alat komunikasi sehingga anak-anak dibawah umur mudah terpengaruh akan pengaruh buruk yang ada di sosial media seperti komentar-komentar buruk yang mudah ditemui di sosial media.

Pelaku cyberbullying biasanya lahir dari lingkungan kita sendiri contohnya teman kita sendiri yang tidak suka pada kita tetapi tidak berani berbicara secara langsung maka, mereka mengekspresikannya di media sosial.

Menurut Ayu seorang psikolog Pelaku cyberbullying mempunyai kepribadian otoriter dan selalu ingin menguasai sekelilingnya. Tetapi bisa hanya terjadi pada saat di media sosial. Pelaku cyberbullying juga menganggap diri sebagai penguasa atau senang untuk lebih mendominasi dan biasanya memilih untuk mengganggu korban yang dianggap lemah.

Namun bisa juga korban cyberbullying adalah orang yang populer, pintar, atau yang mempunyai perilaku menonjol sehingga membuat pelaku cyberbullying menjadi iri, jelas Ayu.

Saat ditanyakan apakah korban cyberbullying itu bisa berpotensi menjadi pelaku atau tidak? Ayu menerangkan bahwasanya tidak. Karena menurut Ayu hal ini berbeda dengan konteks atau persoalan kekerasan seksual, yang dimana korbannya akan cenderung bisa menjadi pelaku.

Misalnya dulu pada saat dia kecil pernah jadi korban sodomi ketika dia sudah besar dia bisa menjadi pelaku karena dia ingin membalas apa yang pernah dia rasakan dulu atau ingin membalas dendam kepada korban dan mau melampiaskan kekesalan dia kepada si korban. Orang tersebut juga bisa melakukan hal sodomi karena pemikiran biologis orang tersebut itu adalah yang enak.

“Beda halnya dengan cyberbullying lebih ke perilaku agresif, terlalu berani dia akan seperti ini terus kecuali dia sudah di rehab, konsultasi dengan psikolog. Jika si korban memang kurang berani untuk mengekspresikan dirinya. Karena butuh suatu kekuatan yang berlebihan dan mungkin gak ada di kepribadian diri si korban. Apalagi ini biasa terjadi di rentan waktu yang pendek atau pada saat remaja dan seiring waktu pemikiran kita juga akan lebih dewasa. Korban pernah merasakan hal tersebut dan dia merasakan bahwa di bully itu tidak menyenangkan. Maka korban tidak akan menjadi pelaku cyberbullying”, ujarnya.

Jika pelaku cyberbullying ingin disembuhkan bisa melakukan dengan cara terapi asertif atau melakukan konsultasi dengan psikolog. Dengan terapi asertif dapat membantu si pelaku untuk menghilangkan perilaku cyberbullying. Terapi ini merupakan latihan yang diberikan kepada individu untuk melatih kecemasan, melatih mengekspresikan amarahnya dengan benar. Manfaat yang didapatkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam mengambil suatu keputusan, membantu untuk berkata “Tidak” dan membiarkan orang lain memanfaatkannya, lanjut Ayu.

“Manfaat berkonsultasi dengan psikolog dapat membantu mempelajari hubungan antara pikiran dan pengaruhnya terhadap perilaku dan sifat. Biasanya psikolog akan melakukan tes yang berbeda, termasuk pemeriksaan fisik dan sikis. Tes tertentu juga akan dilakukan seperti tes IQ, sifat dan perilaku. Dari tes – tes tersebut nanti akan terlihat mengapa si pelaku bisa melakukan hal tersebut”, ungkap Ayu.

Selain itu kata Ayu upaya–upaya untuk mencegah menjadi pelaku cyberbullying adalah dengan mengikuti suatu organisasi atau aktifitas yang positif sehingga mereka dapat mengekspresikan diri, membatasi bermain alat komunikasi yang berlebihan sehingga terhindar dari dampak negatif yang berada di sosial media, terbuka kepada orang tua dan menyempatkan untuk berkumpul bersama keluarga.

“Cyberbullying merupakan suatu hal yang sangat disepelekan oleh masyarakat Indonesia. Karena bisa kita lihat sendiri di kolom komentar sosial media tidak hanya generasi muda saja yang melakukan pembullyan melalui internet tetapi sebagian besar merupakan orang dewasa yang seharusnya menjadi contoh yang baik untuk generasi penerusnya”, kata Ayu.

Jadi kita sebagai warga Indonesia jangan terus menyalahkan generasi muda tetapi generasi tua juga harus mencontohkan perilaku yang baik. Seharusnya juga ada pengawasan lebih di media sosial agar para pengguna media sosial tidak seenaknya mengomentari orang dengan kata – kata yang kasar atau tidak baik karena satu kata yang menyakiti hati seseorang bisa merusak kehidupan orang tersebut. (Niken Larasati)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here