Jakarta, REPORT INDONESIA – Penangkapan 6 orang penyebar konten hoax dan ujaran kebencian oleh Direktorat Siber Polri mengkonfirmasi bahwa hoax dan ujaran kebencian sengaja (by design) diproduksi dan disebarluaskan oleh kelompok tertentu dengan tujuan tertentu. Praktik semacam ini bukan hanya membahayakan kontestasi politik tetapi yang utama adalah membelah masyarakat pada pro dan kontra tentang suatu konten informasi dan ini membahayakan bagi kohesi sosial kita. Penangkapan simultan di Surabaya, Bali, Sumedang, Pangkalpinang, Palu dan Yogyakarta, menggambarkan bahwa kelompok yang diidentifikasi sebagai Moslem Cyber Army (MCA) memiliki sebaran hampir di seluruh Indonesia.
Sebagai gerakan yang didesain, Direktorat Siber harus mampu melacak aktor-aktor intelektual di balik MCA untuk melindungi masyarakat dari paparan berita bohong dan kebencian. Melihat personel dan pola gerakannya, kelompok MCA ini agak berbeda dengan Saracen yang memiliki struktur jelas dan motif ekonomi dominan. Kelompok MCA tampak lebih “ideologis”, memiliki banyak sub kelompok dan ribuan anggota di seluruh Indonesia dengan ikatan organisasional relatif cair. Oleh karena itu, daya rusak kelompok ini lebih besar daripada Saracen.
Jika merujuk pada konten yang disebarkan, pesan-pesan kelompok MCA mengarahkan kebencian itu pada partai politik atau tokoh yang saat ini menjalankan kepemimpinan nasional. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pekerjaan ini datang dari kelompok penentang. Asumsi yang mengatakan bahwa hoax dan kebencian sengaja diproduksi oleh tangan negara, terbantah dengan melacak rekam jejak MCA dalam banyak isu. Namun demikian untuk memastikan dugaan ini, Polri perlu membongkar tuntas jejaring pelaku, mediator, pemesan dan penikmat hoax dan ujaran kebencian ini.
Publik mesti berperan dalam menumpas kelompok-kelompok serupa dengan aktif melaporkan mereka yang secara regular melakukan penyebaran konten berita palsu dan ujaran kebencian berbasis sentimen SARA. Bukan hanya di dunia maya, tetapi juga hoax dan ujaran kebencian yang dibungkus sebagai pesan moral agama dan disebarluaskan melalui mimbar-mimbar keagamaan. Jejaring penebar hoax dan kebencian pada kelompok ini juga sama bahayanya dengan mereka yang bekerja di dunia maya. Di tahun elektoral tingkat lokal dan nasional 2018 dan 2019, kita mempunyai kebutuhan akan ruang publik-politik yang mempersatukan, bukan memecah-belah, demi kompetisi politik yang jujur, adil dan membangun. Untuk mewujudkan hal itu, dibutuhkan sinergi dan partisipasi publik. (Penulis : Hendardi, Ketua SETARA INSTITUTE)