Jakarta, REPORT INDONESIA – Ada banyak pendapat yang memperkirakan posisi Indonesia ke depan. Dari berbagai pendapat yang mengemuka dalam wacana publik tentang posisi Indonesia secara umum terdapat empat aliran pemikiran yaitu; aliran optimisme, stagnanisme, pasrahisme, dan pesimisme. Pandangan kelompok aliran optimisme lebih memberi harapan Indonesia bisa lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya. Aliran stagnanisme memandang masa depan pembangunan Indonesia akan stagnan alias tidak bergerak maju dan tidak mundur. Di sisi lain, aliran pasrahisme memandang masa depan Indonesia dengan menyerahkan diri pada keadaan. Sementara aliran pesimisme memandang masa depan Indonesia tidak ada harapan lebih baik, bahkan memprediksi Indonesia akan bubar dan punah.
Pada kesempatan ini, kita bahas saja dua aliran mainstream yang berada pada posisi diametral saat ini yaitu aliran optimisme versus pesimisme. Dua aliran dalam perspektif masa depan Indonesia inilah yang menjadi arus utama dalam wacana publik. Dua aliran pemikiran tersebut menarik untuk dibahas karena keduanya menjadi narasi besar yang berhubungan dengan kontestasi pilpres 2019 yang menampilkan dua pasangan capres yang saling berhadapan. Sesuai dengan tema diskusi kali ini, maka narasi dan kontra narasinya bisa disederhanakan “Indonesia Maju vs Indonesia Punah”.
Dua aliran tersebut bisa direpresentasikan bahwa pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin berada di kubu aliran optimisme, sementara kubu Prabowo – Sandiaga Uno berada di kubu aliran pesimisme. Hal itu didasarkan pada sejumlah narasi dan pernyataan dari kedua pasangan capres. Sebagai kubu petahana Jokowi – Ma’ruf lebih banyak membangun optimisme dengan narasi keberhasilan dan kemajuan pembangunan yang telah dicapai. Berbagai klaim kemajuan yang dicapai menjadi modal untuk membuat Indonesia lebih maju dari hari ini. Sementara kubu Prabowo – Sandi lebih banyak membuat narasi sebaliknya. Sebagai penantang incumbent, kubu ini banyak memproduksi opini yang mengandung pesimisme. Narasi yang dibangun lebih banyak bicara kegagalan pemerintah, bahkan Prabowo memperkirakan Indonesia akan bubar di tahun 2030 dan terbaru muncul pernyataan Indonesia akan punah. Tentu saja dalam membahas dua aliran pemikiran tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks politik karena kedua narasi tersebut muncul di tahun politik menjelang pilpres. Oleh karena itu, kita perlu memahaminya secara lebih lentur, tidak bisa hitam putih karena narasi tersebut terselip berbagai kepentingan elektoral.
Dalam konteks marketing politik, maka Jokowi sebagai petahana sudah semestinya ‘menjual’ keberhasilan. Sebaliknya, sudah menjadi kelaziman jika Prabowo – Sandi sebagai penantang ‘menjual’ kegagalan pemerintah sebagai counter narasi ‘keberhasilan’. Hal ini sudah menjadi habitat politik di berbagai negara, dimana ada kecenderungan kubu penantang akan selalu berusaha untuk mendelegitimasi keberhasilan lawan politiknya. Karenaya, kedua narasi tersebut jelas terselip kepentingan politik, yakni sama sama bertujuan untuk merebut hati pemilih. Namun demikian pengaruh kedua narasi tersebut semuanya akan bermuara pada sebuah realitas.
Pandangan Pesimisme Prabowo vs Data Internasional
Pernyataan yang mengandung pesimisme kubu Prabowo bahwa Indonesia akan bubar dan punah bisa dikategorikan melawan arus. Di saat Prabowo membangun pesimisme, justru sejumlah data riset dari beberapa lembaga internasional memberikan optimisme. Misalnya, data Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi terdapat lima negara yang bakal menguasai perekonomian global pada 2050. Dalam laporan Economist Intelligence Unit (EIU) sebagaimana dikutip dari Bloomberg, Rabu (24/6/2015), lima negara itu adalah China, Amerika Serikat, India, Meksiko dan Indonesia. Laporan itu menyebutkan, Meksiko akan menggeser posisi Rusia, sementara Indonesia akan menggeser posisi Italia dalam kurun waktu 10-35 tahun mendatang.
PricewaterhouseCoopers (PwC) memprediksi bahwa ekonomi dunia akan tumbuh tinggi pada 2050. Pendorong pertumbuhan ekonomi tersebut bukan negara maju, tetapi justru negara berkembang. Dari 10 negara terbesar perekonomiannya di tahun 2050 Indonesia diprediksi berada di urutan ke empat. Sepuluh negara tersebut adalah: 10. Inggris, 9. Jerman, 8. Meksiko, 7. Rusia, 6. Rusia, 5. Brazil, 4. Indonesia, 3. Amerika Serikat, 2. India, 1.Tiongkok.
Pricewaterhouse Coopers (PwC), lembaga konsultasi ekonomi internasional itu merilis laporan proyeksi pertumbuhan global jangka panjang hingga 2050 untuk 32 ekonomi terbesar di dunia, yang setara 85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Proyeksi tersebut diukur dari rasio PDB pada tingkat daya beli yang disesuaikan di perbedaan tingkat harga berbagai negara. Ukuran tersebut dinilai memberikan patokan yang lebih baik dari sisi volume barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian.
Penulis: Karyono Wibowo (Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute)