Jakarta, REPORT INDONESIA – Dalam Sidang Pengadilan Tipikor dengan terdakwa Syafruddin Temenggung, Saksi Iwan Ridwan Prawiranata yang mantan Ketua BPPN dan mantan Deputi Gubernur BI mengatakan ada penyimpangan dalam penggunaan BLBI oleh Bank BDNI milik Syamsul Nursalim. Sedangkan Kuasa Hukum BDNI/SYAMSUL Nursalim mengatakan sebaliknya. Walaupun kejadian BLBI sudah lama (sekitar 20 th yang lalu), tetapi kalau saja ada political will yang sungguh sungguh dari pemerintah khususnya aparat penegak hukum untuk menuntaskannya, tentu kerugian negara dapat dikurangi dan akan memberikan efek jera di kemudian hari.
Dari sejak kejadiannya sampai kini kami menengarai bahwa pelaku BLBI khususnya Syamsul Nursalim mampu membangun konspirasi dengan oknum oknum penting penguasa sehingga mampu mengeruk uang negara dan kasusnya tidak dapat dituntaskan sehingga negara kesulitan mengurangi kerugian negara yang diderita.
Sejak awal skandal BLBI memang Bank BDNI yang paling parah pelanggarannya sekaligus paling kuat jaringan konspirasinya dengan oknum oknum penguasa.
Pada awal BLBI (1997 sd triwulan I 1998) pemerintah benar benar mengalami kesulitan untuk mengungkap pelanggaran BLBI pada umumnya dan Bank BDNI / Syamsul Nursalim pada khususnya karena adanya upaya upaya menutupi dari ybs maupun jaringannya dalam kekuasaan, seolah olah tidak ada pelanggaran. Untuk itu selaku Menteri Keuangan/ Ketua Dewan Moneter, saya menerima tawaran bantuan dari Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) yang di sampaikan oleh David Lipton selaku Asisten Menteri Keuangan AS untuk mengirimkan belasan auditor/ ahli ahli penyidik pembobol perbankan bekerja sementara di BPPN bersama sekitar 60 auditor BPKP. Hasilnya antara lain melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 201/KMK. 01/1998 tgl 4 April 1998, Syamsul Nursalim dkk dicekal, dan Bank BDNI dll di take over BPPN. Atas pemeriksaan khusus oleh BPPN dg bantuan Tim Auditor Internasional tsb terbitlah Laporan dari Ketua BPPN No. S-3/Prog/ BPPN/1998 tgl 18 Mei 1998 perihal Laporan Perkembangan BPPN sd 15 Mei 1998 yang dikirimkan Ketua BPPN saat itu Iwan Ridwan Prawiranata kepada saya selaku Menkeu.
Dari Laporan BPPN itu jelas bahwa BDNI sd 3 April 1998 telah menerima dana BLBI dari BI sebesar Rp27,6 Triliun sedangkan jumlah pinjaman (kredit) yang disalurkan Rp26,9T dan sebesar Rp24,4T (90,7%) di salurkan pada groupnya sendiri, yang jelas merupakan pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit kpd groupnya sendiri). Sedangkan dari total aset yang dilaporkan BDNI sebesar Rp33,6T ternyata setelah diperiksa oleh Tim Audit BPPN itu hanya Rp5,8T alias di markup atau turun 82,8%. Sebaliknya terhadap kewajiban BDNI yang di laporkan hanya Rp32,3T tetapi setelah di periksa Tim ternyata Rp48,2T atau kenaikan sebesar 33,1%. Dengan demikian perkiraan kerugiannya Rp42,4T yaitu Rp48,2T- Rp5,8T. Jumlah inilah yang hakekatnya di gelapkan BDNI dan dilimpahkan atau merupakan kerugian negara.
Dalam Laporan Khusus BPPN tsb juga disebutkan bahwa bank bank tertentu termasuk BDNI telah mempergunakan dana bank untuk kepentingan pemegang saham pendiri dan manajemennya.
Selain itu disebutkan pula bahwa Bank BDNI sudah mengalami kesulitan likuiditas SEBELUM krisis terjadi dan mereka mendapatkan dana besar dari Bank Indonesia melalui SBPUK (Surat Berharga Pasar Uang Khusus) yang untuk BDNI saja jumlahnya Rp9,8T (pada saat sebelum krisis kurs Rp2400/USD) atau lebih dari USD4Miliar. Dari Laporan tsb juga dapat diketahui bahwa Bank BDNI meski sudah mengalami kesulitan likuiditas masih tetap saja mengucurkan dananya pada groupnya sendiri sebesar USD600juta (Mei 1997). Jadi jelas bhw apa yang dilakukan oleh BDNI/Syamsul Nursalim adalah melanggar banyak peraturan yang berlaku dan motipnya adalah memperkaya diri sendiri dengan menyedot uang BI /BLBI melalui BDNI.
Dalam Laporan tertulis saya kepada Panja BLBI Komisi IX DPR pada tanggal 9 Februari 2000, saya juga menjelaskan berdasarkan Laporan Tim Auditor Internasional BPPN bahwa Bank BDNI termasuk yang melakukan penyimpangan maupun rekayasa dalam pemberian kredit. Jadi tidaklah tepat bila Kuasa Hukum BDNI mengatakan Bank BDNI/Syamsul Nursalim tidak melakukan pelanggaran perbankan/BLBI.
Sebenarnya banyak Laporan Laporan lain yang sudah dibuat tentang BLBI oleh BPK maupun BPKP. Antara lain Laporan BPKP No. Lap-02.02.07.-437/D VII.2/2000 tanggal 17 Juli 2000 tentang Laporan Gabungan Hasil Audit Investigasi Penggunaan BLBI oleh 42 Bank Penerima/Pengguna BLBI yang intinya mengatakan adanya Indikasi kuat penyimpangan yang sangat material atas penyaluran dan penggunaan BLBI yaitu pelanggaran hukum, unsur kerugian negara, pihak pihak yang diuntungkan, dan cukup rinci dengan angka angkanya serta nama nama banknya termasuk BDNI.
Sebagaimana Laporan saya kpd Presiden Suharto saat itu bahwa BDNI/Syamsul Nursalim adalah yang paling merajai dalam kejahatan perbankan BLBI.
Saya percaya itulah sebabnya Syamsul Nursalim ditahan Kejagung semasa Jaksa Agung di pegang Marzuki Darusman. Sayangnya dia berhasil kabur ke luar negeri dan hingga saat ini tidak pernah memenuhi panggilan KPK. Bila memang tidak bersalah mengapa kabur dan tidak datangi KPK untuk memberikan penjelasan?
Dilain pihak, aparat hukum juga terkesan setengah hati untuk mendatangkan paksa Syamsul Nursalim maupun dalam upaya menutupi kerugian negara dengan cara menyita asetnya yang ada di Indonesia.
Djony Edward misalnya, dalam tulisannya di Nusantara.news Jakarta 10 Mei 2018 meyarankan sekurangnya ada 5 pintu masuk bagi KPK untuk mengusut ulang kasus BLBI Syamsul Nursalim. Djony cukup rinci menguraikan perilaku SN yang tidak koperatif dan kejanggalan kejanggalan lain. Misalnya Syamsul Nursalim yang seharusnya membayar Rp1T tetapi hanya Rp337Miliar. Yang lebih gila lagi misalnya SN mengaku telah menyerahkan aset ke BPPN senilai Rp27,49 T tetapi BPPN menyatakan status hukum aset2 tsb belum jelas atau tegasnya aset aset tsb sebenarnya masih ditangan SN sehingga tidak bisa di eksekusi oleh negara. Benarkah negara se demikian tidak berdayanya menghadapi seorang buron? Seharusnya tidak. Sekali lagi kesulitan2 negara menghadapi kasus BLBI BDNI/SN ini tentu karena ada faktor X dan hanya pemerintah yang bersih yang akan mampu menuntaskan. Tidak berbeda jauh dengan kasus Bank Century yang selalu berhenti di KPK karena diduga ada kekuatan yang melindunginya.
Dugaan atau lebih tepatnya keyakinan saya ini tentu berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya sejak 1998 bahwa SN dengan harta dari kejahatannya antara lain dari dana BLBI telah mampu membeli oknum oknum penguasa dan membangun konspirasi untuk melindungi dirinya maupun hartanya. Saya yakin apa bila sungguh sungguh ingin membongkar skandal ini, Pemerintah atau aparat penegak hukum akan mampu mendatangkan paksa SN baik melalui bantuan Interpol maupun permintaan langsung ke pemerintah Singapore. Pertanyaannya sudahkah upaya upaya itu di lakukan? Kalau belum, mengapa dan tanggung jawab siapa? Pemerintah bukan saja tidak boleh tunduk dan kalah kepada teroris tetapi juga kepada koruptor BLBI.
Penulis : Dr. Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan RI.