Jakarta, REPORT INDONESIA – Menangis sedih. Barangkali, itulah satu kata singkat jika founding father dan seluruh pejuang kita bisa bangkit dari kuburnya. Why? Ungkapan kekesalan dan kekecewaannya tak lepas dari perilaku kekuasaan dan para sekutunya, yang semakin memperkuat proses “kehancuran” negeri ini. Sebuah potret kehancuran yang membuat keberadaan Indonesia kian gelap-gulita masa depannya. Bukan tak mungkin menjadi ‘sirna’ dalam satu dasawarsa ke depan, seperti yang pernah disinyalir dua novelis fiksi karya PW Singer dan August Cole dalam judul Ghost Fleet. Sebuah karya fiksi yang bukan fiktif. Berangkat dari data faktual tentang realitas obyektif perjalanan pembangunan Indonesia kini dan proyeksi mendatang.
Memang, imaginer ungkapan itu. Tapi, jika kita buka catatan sejarah, para pejuang dahulu, jauh sebelum kemerdekaan, totalitas nilai pengorbanannya sungguh luar biasa menghadapi penjajah kolonial. Dan jelang kemerdekaan pun masih harus berjuang untuk merumuskan tata kenegaraan yang terbaik. Nyaris bubar karena benturan perbedaan ideologis yang ada. Bahkan semasa awal kemerdekaan juga penuh dinamika konfliktual yang bernada penuh pengkhianatan, yang menonjol antara lain dari anasir milisi Tionghoa Pao An Tui, Westerling dan pemberontakan komunis (PKI) 1948.
Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, pengorbanan para pejuang yang demikian besar dalam berbagai spektrum itu terkabul: sebuah existing Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu, mereka mendambakan bukan hanya sebuah status negara merdeka, tapi mewujudkan cita-cita besar: kesejahteraan dan kemakmuran warga bangsa. Sebagai negara, Indonesia harus berkibar. Jaya di hadapan rakyatnya sendiri dan dihormati masyarakat dunia. Sebagai bangsa, negeri ini harus menghadirkan tingkat kesejahteraan seperti yang teramanatkan dalam konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Itulah cara merawat negara sekaligus artikulasi rasa terima kasih kepada para pejuang.
Namun, Indonesia yang siap memasuki 75 tahun merdeka, kini justru jauh dari cita-cita mulia berdirinya sebuah negara merdeka. Derap pembangunan negeri ini, setidaknya dalam masa enam tahun terakhir, kian kehilangan arah dari entitas keindonesiaan yang berdaulat. Yang menampak adalah dominasi pembangunan “pesanan” asing.
Seperti kita ketahui bersama, dalam masa enam tahun terakhir, tergema kebijakan pembangunan infrastruktur yang demikian massif. Atas nama percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, dibangun koneksifitas infrastruktur dalam bentuk jalan tol, bandara dan pelabuhan. Bagus. Tapi, dalam prakteknya – pertama – pembangunan infrastruktur jalan tol, jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung dan atau pelabuhan dan bandara internasional tak diawali dengan studi kelayakan yang serius dan valid, bagaimana efektivitas penggunaannya. Kedua, sumber pendanaannya tidak introspeksi pada kekuatan keuangan negara, tapi lebih mengandalkan utang luar negeri (ULN). Ketiga, finansialisasi megaproyek lebih bersifat bilateral (China), bukan lembaga multilateral.
Kita perlu kritisi lebih jauh, konsep pendanaan pembangunannya – di satu sisi – berdampak pada melonjaknya utang luar negeri dengan grafik sangat hiperbolik. Ketika zaman SBY, posisi utang luar negeri dari lembaga IMF berhasil terlunasi, tapi – karena proyek ambisiusitas itu – memaksa harus diperhadapkan lonjakan ULN yang sangat tidak rasional dan melanggar UU Keuangan Negara, karena posisi ULN-nya lebih dari 20% APBN. Kini, posisi ULN RI – menurut Bank Indonesia akhir kuartal II 2020 mencapai 6.047 Trilyun rupiah. Rasio terhadap PDB meningkat sebesar 37,3%. Sungguh menjadi burden anak cucu kita kedepannya. Yang pasti dan bisa ditebak utang akan terus membengkak seiring perjalanan waktu.
Sisi lain, utang yang didominasi secara bilateral (China) tidak dicerna probabilitas pahitnya. Bedasarkan catatan pengalaman sejumlah negara (Zimbabwe, Angola dan Afrika Selatan bahkan Vietnam), utang bilataral terhadap China sesunguhnya terindikasi jebakan (Chiness Debt Trap) dan inilah yang membuat Negeri Tirai Bambu jor-joran dalam memberikan utang. Dengan konsep pemberian utang seperti ini, China siap mencoplok debitur jika sang negara debitur kelak tidak mampu membayarnya. Minimal, China akan menguasi seluruh rangkaian kebijakan dalam negeri debitur. Tidak hanya aspek ekonomi, tapi hal-hal idelogis lainnya, termasuk kemerdekaan politik, keagamaan dan hak-hak asasi lainnya. Dan itu sudah terjadi pada Zimbabwe dan Angola.
Itulah etape “neokolinialisasi” gaya China dengan One Belt One Road {OBOR) yang terjadi diberbagai negara, dan bisa jadi termasuk kebijakan yang dijalankan terhadap negeri kita sejak 2015 hingga kini. Dengan konsep tekad “neokolonialisasi” itu pula, maka kita dapat memahami mengapa konsentrasi (pilihan mega proyeknya) infrastruktur. Arahnya jelas: membaca prediksi efektivitas “kolonialisasi” yang kini sudah mulai terlihat. Penguasaan jalur-jalur vital (bandara dan pelabuhan) sudah berhasil menyuguhkan karpet merah warga China entah itu sebagai pelancong atau “berkedok” tenaga kerja asing (TKA) dalam jumlah puluhan bahkan ratusan ribu tanpa hambatan, di samping importasi sejumlah barang, baik yang legal maupun pasar gelap dan juga maraknya jaringan mafia narkotika yang menyasar negeri kita tercinta ini.
Migrasi TKI China yang besar-besaran itu merupakan kepiluan tersendiri bagi pemandangan angkatan kerja kita. Di satu sisi, mereka – semasa pandemi corona – dapat lisensi kebebasan seluas-luasnya untuk memasuki negeri “tanpa” scanning protokol kesehatan yang ketat. Di sisi lain, pengangguran kita akibat pandemik yang menurut data mencapai 33,3 juta ini sulit mendapatkan kesempatan untuk mengais rezeki. Bangsa ini seakan dibikin makin miskin dan tanpa empati yang solutif untuk anak-bangsanya sendiri. Sangat tidak adil.
Potret menyedihkan itu menambah catatan ketidakadilan yang terbangun jauh sebelumnya. Seperti kita ketahui, kalangan WNI keturunan, “China domestik”, menurut catatan Bank Dunia – telah menguasai sekitar 1% atau sekitar 2,5 juta orang yang menguasai 72% tanah negeri ini. Sungguh luar biasa diluar akal sehat. Akibatnya mudah ditebak, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencatat, ada sekitar 70% kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan dalam berbagai skala. Dalam hal ini, terdapat 34% daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). Global Forest Resouces Assesement (FRA) mencatat telah terjadi dereforistrasi sekitar sekitar 684.000 Ha per tahun.
Yang perlu kita garis-bawahi, deforistrasi untuk kepentingan penambangan telah mengakibatkan kerusakan bahkan kehancuran lingkungan yang sangat serius. Makanya, tidaklah aneh ketika menyaksikan alam sering “mengamuk”. Pada 2006 terjadi 740 kali bencana alam. Tapi, pada 2017 – menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) – bencana alam itu meningkat: menjadi 2.542 kali. Secara keseluruhan – sebanyak 95% bencana itu – didominasi bencana hidrometeorologi. Terkait dengan “marah”nya alam di negeri ini, dalam konsepsi budaya politik masyarakat Jawa merupakan pralambang roda kekuasaan “gagal” menselaraskan diri dengan alam. Bisa jadi ini berkonsekwensi dengan politik yang dijalankan saat ini.
Secara rasional, jika kita telusuri penyebabnya, kita saksikan ada problem serius dari hulunya: sketsa kebijakan pembangunan pro kapitalis, yang kini lebih terdominasi pada gerakan “persekongkolan” dengan China. Dan, itu juga terkait dengan “perselingkuhan” yang cukup lama dan tersistem di antara aktor politisi yang bersemayam di pemerintahan dan lembaga legislatif.
Perselingkuhan yang berbaju koalisi itu membuat banyak produk legislasi yang antagonis bagi kepentingan rakyat. Dan kasus yang kini menyeruak dan masih memanas, seperti RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), dan kini berubah nama RUU PIP (Pedoman Ideologi Pancasila) sesungguhnya merupakan pencairan gunung es atau akumulasi puncak dari produk-produk legislasi yang tidak pro rakyat dan negara, seperti UU Minerba, RUU Omnisbuslaw, UU Corona (No. 2 Tahun 2020). Termasuk sketsa “neokolonisasi” atau “neookupasi” atas teritorial Indonesia dengan hadirnya Perpres No. 60 Tahun 2020 tentang Perubahan Tata Ruang Wilayah Jabodetabek dan Cianjur. Perpres ini dinilai urgent sekaligus menjadi koreksi konsep pembangunan perumahan elit khusus, yang ditenggarai diperuntukan warga asing tertentu.
Kembali menyoal kontroversial dari produk hukum, sekali lagi, sistem koalisi yang terbangun sesungguhnya merupakan potret perselingkuhan rezim dan lembaga legislative, membuat mereka tak mau menghiraukan gelombang reaksi publik. Memang, ada dua fraksi Demokrat dan PKS yang menjadi oposisi. Tapi, dengan kekuatannya yang hanya 54+50 kursi atau hanya 11,5%, keberatan Demokrat dan PKS dipandang sebelah mata, sementara sikap politik PAN terlihat belum all out duduk dibarisan apa secara idealistik. Sekali lagi, dengan jumlah kursi Demokrat dan PKS yang terbatas itu, maka kecil kemungkinannya dua partai politik ini dapat melakukan perlawanan politik secara maksimal di parlemen.
Sementara itu, parlemen jalanan yang disuarakan terhadap segala macam tuntutan dari sebuah kebijakan kontroversial, dipandang sebagai musuh dan ancaman. Bahkan, jauh sebelumnya, siapapun yang melawan rezim untuk kebijakan apapun cenderung dikriminalisasi dan persekusi. Tampak jelas, penegak hukum tidak berpihak pada konstitusi dan UU, tapi justru menjadi alat kekuasaan tanpa menilai proporsionalitas perilaku rezim. Ironis memang, karena tindakan mobokratifnya tak lagi mengindahkan jatidirinya sebagai sang pelayan dan pelindung masyarakat.
Potret kepiluan itu – ke depan – akan lebih memilukan lagi. Hal ini sejalan pagelaran pemilihan kepala daerah (pilkada). Sistem pilkada langsung – pada dasarnya – ideal dalam kerangka mencari calon pemimpin yang berkualitas, berintegritas dan tinggi akseptabilitasnya, sehingga berpotensi konstruktif untuk memajukan daerah dan rakyatnya. Tapi – dan inilah yang lagi-lagi menyedihkan – mekanisme politik ideal itu selalu dibayang-bayangi bohir (taipan) yang terus menguntit calon-calon kepala daerah potensial. Dan itu, tak lepas dari kompensasi. Ketika perskongkolan itu jadi, maka potret kepala daerah yang menang itu tak akan berkutik dengan para penyandang dana.
Mencermati sketsa politik Indonesia seperti itu, maka Indonesia ke depan semakin gelap-gulita. Semakin bertambah usia kemerdekaan, bukan kian matang (maju dan makmur), tapi kian terseok, tersedot asetnya secara eksploratif dan eksploitatif yang bisa hancur. Kehancuran akan semakin terbayang sejalan dengan pamaksaan format politik dinasti yang saat ini menyeruak. Impian yang akan menggiring praktik politik mobokrasi (mendepankan kekuatan kekuasaan) bagi yang tak mendukungnya. Demokrasi mobokrasi inilah yang menurut Russel (2007) bentuk terburuk dari praktek demokrasi itu sendiri untuk melanggengkan kekuasaan.
Akhirnya – dengan pahit – kita perlu menegaskan, negeri seperti kita sepertinya tak punya prospek lagi: sebagai negara yang merdeka secara sejati, apalagi maju dan makmur. Namun demikian, bangsa ini punya pengalaman sejarah panjang. Ketika akumulasi kolonialisme sampai ke titik nadlir (terbawah), maka – secara sunnatullah (hukum alam) – akan bangkit seluruh elemen ini melawan secara heroik. Dan itu sudah terbaca. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) – sangat mungkin – akan menjadi kekuatan pembangkit bersama untuk semua elemen bangsa yang tak tahan lagi dengan panorama jalannya roda pemerintahan. Kita menunggu apakah pasca Kemerdekaan RI ke-75 akan berbuah ledakan politik ekstensif menasional dihari-hari kedepannya. Who knows. Allah akan mempersaksikan kepada anak bangsa ini. Kita lihat saja.
Penulis adalah Founder Indonesia Berkibar