Jakarta, REPORT INDONESIA – Produksi minyak yang rendah dan terus turun ditambah dengan kapasitas kilang yang stagnant, berlangsung sudah lama. Bukan kesalahan pemerintah saat ini (JKW). Kemunduran industri migas nasional ini terjadi karena TATA KELOLA migas kita YANG SALAH. Saat ini didasarkan atas UU Migas no.22/2001. UU INI MESTINYA SUDAH HARUS DIGANTI. Sejak pemerintahan sebelumnya (SBY), DPR dengan hak inisiatifnya sudah menyusun RUU Migas Pengganti. Belum sempat diselesaikan, MK membubarkan BP Migas, pemerintahan SBY membentuk SKK Migas. Penyusunan RUU Migas tetap menjadi Hak Inisiatif DPR. Komisi VII DPR Periode 2014-2019 sudah bersepakat dan menyelesaikan draft RUU Migas dengan prinsip pokok: SISTEM TATA KELOLA YANG SIMPEL TIDAK BERBELIT-BELIT DAN TIDAK BOLEH MELANGGAR PASAL 33 UUD 45 dan tidak boleh melanggar Keputusan MK. Untuk itu draft RUU Migas Komisi VII ini kembali menggunakan pola B2B tidak lagi dengan pola B2G seperti model UU Migas No.22/2001. SKK Migas digabung dengan Pertamina (dengan Status NOC/BUMN Khusus dibawah Presiden), BPH Migas kembali ke Ditjen Migas. Draft RUU Migas hasil kerja Komisi VII sebagai komisi teknis, dibawa ke BALEG untuk sinkronisasi. Ternyata draft dari Komisi VII tersebut DIRUBAH di Baleg dengan antara lain MEMUNCULKAN PASAL BARU tentang BPH Migas bahkan BPH Migas diberi kewenangan terkait perijinan IMPOR MIGAS.
Dalam Rapat Paripurna DPR, draft RUU Migas yang dari Baleg tersebut disyahkan menjadi RUU INISIATIF DPR untuk pembahasan lebih lanjut dan disampaikan ke Pemerintah. Dengan pertimbangan untuk MEMPERCEPAT PROSES, Fraksi Nasdem DPRRI SETUJU atas draft RUU versi Baleg tersebut untuk menjadi RUU Inisiatif DPR dengan CATATAN: Pengelola migas nasional dikembalikan ke NOC/Pertamina (dengan status Khusus dibawah Presiden), SKK Migas digabung kembali ke Pertamina dan BPH Migas dibubarkan dan digabung dengan Ditjen Migas.
(Penulis: Dr. Kurtubi, Anggota DPR RI Komisi VII Fraksi Nasdem).