Home Profile Jangan Lupakan Kebusukan Orde Baru

Jangan Lupakan Kebusukan Orde Baru

0
SHARE

Jakarta, REPORT INDONESIA – Apakah Orde Baru itu busuk? Memang, mengoperasikan sistem yang busuk. Seharusnya sejak dulu kita telanjangi kebusukan Orde Baru agar bisa dijadikan pelajaran bagi generasi milenial untuk menuntut pemerintahan sekarang tak mengulangi dan merancang jalan yang lebih baik. Sebenarnya sudah banyak studi dan “penghargaan buruk” yang membedah Orde Baru, mantan Presiden Soeharto yang dinilai sebagai penguasa paling ditakuti dan dinobatkan sebagai “diktator terkorup” (Republika, 2014), serta peran militer dan budaya. Misalnya, kekejaman dan pembantaian 1965-1966 (Cribb, 1990 dan 2001; Roosa, 2008), invasi militer ke Timor Timur (Taylor, 1991), pola korupsi melalui persilangan kekuasaan politik, birokratik dan bisnis (Robison, 1986), bertengger sebagai negara korup selama 1995 dan 1999 (PERC, 2001), serta tumpukan kekayaan dalam “Suharto Inc.” (Time, 1999).

Berikut ini beberapa pandangan mengenai tema diskusi “Pencemaran Nama Baik versus Melawan Lupa”.

1. Istilah yang tepat bukan “melawan lupa”, melainkan “jangan lupa” atau “jangan lupakan” sebagai bentuk peringatan atas apa yang telah terjadi. Karena, kata “melawan” itu berarti berhadapan dengan subyek, seperti “melawan Soeharto”, “melawan Orde Baru,” atau seperti puisi Wiji Thukul, hanya ada satu kata: “Lawan!” Dengan begitu, jangan lupakan kebusukan Orde Baru sebagai pelajaran paling buruk dalam sejarah politik Indonesia.

2. Istilah “pencemaran nama baik” terdiri atas dua hal, yaitu “pencemaran” dan “nama baik”. Dalam bahasa Inggris, dikenal dengan istilah “fame”. Nama baik berarti menyangkut reputasi seseorang, serta pengenalan orang lain terhadap orang tersebut seperti ketenaran atau popularitas. Istilah lain adalah “honor” yang berarti penghormatan atau penghargaan. Sementara, “pencemaran” berarti proses menjadi kotor atau banyak noda hingga tercemar, seperti “pencemaran limbah pabrik ke sungai” atau “pencemaran udara” oleh kepulan asap kendaraan bermotor. Bisa pula baju/pakaian warna putih terkena cipratan masakan atau minuman berwarna.

3. Tapi, istilah “nama baik” pasti mengandaikan “nama tidak baik” atau “nama buruk”. Dalam kaitannya dengan Soeharto, apakah dia memiliki “nama baik” ataukah “nama buruk”? Hal ini tergantung siapa yang menilainya. Jika penilainya adalah anak-anaknya atau penggemarnya, maka Soeharto bukan saja punya “nama baik”, tapi juga bapak yang disegani, dihormati dan bapak yang melindungi (godfather). Jika penilainya adalah korban kejahatan politik selama Soeharto memerintah dan berkuasa, maka dia dinilai diktator atau penguasa kejam. Jika penilainya adalah orang yang melakukan penelitian atau kajian atas beroperasinya sistem pemerintahan yang korup, maka Soeharto adalah salah satu pembentuk pemerintahan korup. Di mata rakyat, bisa seperti penilaian anak-anak Soeharto, serta bisa pula seperti para korban keganasan rezim pemerintahannya. Pertanyaan bisa diajukan kepada Anda: apa pandangan Anda mengenai Soeharto? Apakah dia punya reputasi baik ataukah reputasi buruk? Apakah dia penguasa kejam dan korup, ataukah penguasa yang melindungi rakyat dan suci bersih? Apapun jawaban Anda, itu adalah hak Anda. Setiap hak tidak boleh dikriminalisasi, karena kriminalisasi pelanggaran hak Anda sebagai manusia.

4. Jika reputasi Soeharto memang buruk, apalagi didukung data dan hasil kajian atau penelitian ilmiah, maka kesimpulan bahwa Soeharto sebagai “diktator terkorup” bukanlah “pencemaran nama baik”, melainkan meluruskan apa yang sebenarnya sudah terjadi. Pendapat yang menyangkal atau membantah Soeharto sebagai “diktator terkorup” itu adalah pendapat yang tidak sesuai dengan kenyataan ketika Soeharto memerintah dan berkuasa. Dari sisi moral, dengan berbagai tindakan dan perilakunya, maka Soeharto itu sendiri yang “mencemarkan” reputasinya. Dia telah menimbulkan sejarah politik yang berdarah-darah, serta korupsi yang merajalela dari Jakarta hingga desa-desa.

5. Lagi pula, UUD 1945 dan UU HAM lainnya menghormati dan melindungi setiap orang berpendapat. Masalahnnya, delik pidana “pencemaran nama baik” itu warisan kolonial Hindia Belanda untuk membungkam orang mengekspresikan kebebasan. Delik ini sudah punah atau jadi “fosil” di Belanda.

Penulis : Hendardi, KETUA SETARA INSTITUTE

Kepustakaan:

Cribb, Robert. 1990. The Indonesian Killings 1965–1966: Studies from Java and Bali. Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.

Cribb, Robert. 2001. “Genocide in Indonesia, 1965‐1966”. Journal of Genocide Research. Vol. 3, Issue 2.

Robison, Richard. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen & Unwin.

Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Taylor, John G. 1991. Indonesia’s Forgotten War: The Hidden History of East Timor. London: Zed Books.

Rilis hasil survei korupsi di Asia Pasifik oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC). 2001. “PERC Asian Intelligence Issue.” Hong Kong.

Majalah Time. 1999. “Suharto Inc.: How Indonesia’s Longtime Boss Built a Family Forture.” 24 Mei.

2014. “Soeharto, Diktator Terkorup Sedunia Abad ke-20.” Republika. 4 Juli.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here