Jakarta, REPORT INDONESIA – Realita kehidupan bernegara di Indonesia menunjukkan hukum terus mengikuti arus politik. Politik menjadi faktor dominan dalam pembangunan hukum yang akan terus berkembang sesuai dengan ‘cetak-biru’nya. Pembangunan hukum yang dimaksud merupakan suatu tindakan politik yang memegang kendali dalam menentukan arah, corak, dan materi hukum.
Masyarakat pun terus berharap akan politik yang bersih, yang menjadi kendaraan rakyat untuk mencapai kesejahteraan, bukan dipakai oleh insan politik sekedar untuk melanggengkan kekuasaan.
Substansi Hukum dalam Penataan Regulasi
Jika tahun lalu sempat muncul istilah ‘obesitas hukum’ untuk menyebut begitu banyak jumlah peraturan yang muncul, tahun ini DPR dan Pemerintah belum berhasil memenuhi target prolegnas 2018 (50 prolegnas prioritas, 9 prolegnas kumulatif). Tentu kita berharap produk legislasi yang dihasilkan tidak hanya dilihat secara kuantitas, melainkan juga kualitas. Selain “keadilan” sebagai roh dari hukum, prinsip rule of law mematok standar kualitas hukum dengan jaminan pada hak dasar warga negara –Hak Asasi Manusia (HAM) di sebuah negara– dapat dimiliki oleh setiap warga negara.
Saat ini, permasalahan krusial dalam pembentukan regulasi yang berkualitas adalah revisi kumpulan undang-undang pidana yang dikitabkan, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Setelah hampir empat tahun melalui masa pembahasan, draft terakhir yang dibahas Pemerintah bersama DPR masih mengandung rumusan dan materi bermasalah. RKUHP itu jika disahkan saat ini dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, atau mengkriminalisasi masyarakat dalam banyak hal, khususnya hal-hal yang terkait dengan penghormatan terhadap HAM.
Sebagai contoh adalah penerapan pidana mati. Meskipun telah diatur sebagai pidana yang bersifat khusus dan sebagai alternatif, namun bertentangan dengan prinsip hak dasar yang tergambar dalam Kovenan Internasional, yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.
Selain penerapan pidana mati, pengaturan tentang tindak pidana penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, dan pemerintahan yang sah; juga tindak pidana penghinaan terhadap agama, berpotensi memunculkan kriminalisasi dan pelanggaran HAM. Demikian pula muncul pasal-pasal karet dengan penafsiran yang tidak baku, seperti tentang “Pembukaan Rahasia”, cenderung membungkam kebebasan pers sebagai penjaga demokrasi dan nalar publik.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai kitab undang-undang ini nantinya akan diterima sebagai instrumen resmi yang diorientasikan untuk menghadapi masalah-masalah yang kontemporer. Oleh karena itu substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, karena sangat tergantung pada bidang yang akan diatur, dan nantinya berlaku umum bagi semua orang. Bidang tersebut dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi, dan politik, serta perkembangan lain di tingkat global yang sulit diprediksi.
Dalam pembentukannya harus memperhatikan aspirasi yang berkembang dan penghormatan pada nilai-nilai yang berlaku umum, seperti hak-hak dasar sebagai manusia. Hak dasar itu meliputi hak sosial dan budaya, politik dan hukum, serta ekonomi dan pembangunan. Hal-hal tersebut merupakan sumber sekaligus parameter dalam menguji substansi peraturan perundangan yang akan dibentuk.
Maka, meskipun terdapat target waktu untuk selesai, namun kodifikasi hukum pidana ini tidak boleh dilakukan terburu-buru, tanpa dikaji satu per satu bidang yang akan diatur hingga tuntas. Selain dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan asas keadilan, dampak yang dapat ditimbulkannya pun terlalu besar. Ketika hukum tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, maka akan terjadi penolakan oleh masyarakat. Sehingga, seharusnya pembentukan hukum harus selalu mempertimbangkan perlindungan terhadap HAM, baik dalam pendekatan filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Legislasi dan Struktur Hukum
Drama politik produksi rumah rakyat yang ramai menjadi tontonan namun gagal menjadi tuntunan, diputar tahun ini. Polemik disahkannya UU MD3 oleh DPR semakin membuktikan politik berkuasa atas hukum. DPR sebagai lembaga politik telah merampas wewenang hukum dengan memunculkan klausul pemanggilan paksa dan pembentukan pengadilan sendiri yang dijalankan oleh Mahkamah Kehormatan DPR.
Realitas baru transformasi ruang publik dari Orde Baru ke Reformasi nyatanya masih menyajikan kisah kekuasaan yang sama otoriternya, hanya berganti lakon dan jam tayang saja. Syukurlah happy ending, Mahkamah Konstitusi yang awalnya diragukan akan memutus perkara sesuai track-record kewenangannya, telah membatalkan sebagian pasal yang nyata kontroversi untuk membuat DPR menjadi lembaga dengan kekuasaan luar biasa.
Lain kisah dengan saudara tuanya, Mahkamah Agung (MA). Setelah tahun lalu apresiasi diberikan pada MA yang melakukan terobosan progresif dengan komitmen bagi kesetaraan gender dan non-diskriminasi, namun sayang, implementasi masih di angan-angan. MA tampak gagap menjalankan komitmennya sendiri.
Sikap MA yang memutus Baiq Nuril bersalah dalam putusan tingkat kasasi membuktikan MA gagal menerapkan sistem peradilan yang bersifat setara bagi perempuan, sedangkan hal tersebut telah diaturnya sendiri dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No. 3 tahun 2017. Perma ini adalah komitmen MA dan lembaga peradilan manapun di Indonesia dalam peradilan yang non-diskriminasi. Terkait dengan perspektif gender, Perma menjadi Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Perma ini sangat penting karena hingga kini masih banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, yakni segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang berdampak mengurangi/meniadakan pengakuan, atau penggunaan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok di berbagai bidang. Nyata terdapat “relasi kuasa” dalam peradilan, yakni relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan, juga ketergantungan status sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lain yang dirugikan.
Kasus peradilan lain yang berhubungan dengan relasi kuasa adalah dipidananya ‘WA’, seorang anak berusia 15 tahun yang menjadi korban pemerkosaan. Dirinya dipidana telah melakukan aborsi, dan dikenai vonis dengan hukuman enam bulan penjara. Jaksa dan majelis hakim mengabaikan fakta trauma psikologis pada korban yang tidak berdaya menanggung beban kejadian yang dialami. Padahal, tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada anak korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis, sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan tahun 2009.
Budaya Hukum
Aspek kultural yang berkembang dalam masyarakat merupakan pengikat sistem hukum yang ada. Selain nilai-nilai, terdapat pula sikap dan pola perilaku yang akan menangkap ide tentang hukum, dan posisinya dalam tatanan sosial. Jika masyarakat membawa nilai-nilai positif, maka hukum akan diterima dengan baik. Sebaliknya jika negatif, maka masyarakat akan menentangnya, bahkan menganggap hukum itu tidak perlu atau tidak ada.
Persoalan stagnasi budaya hukum yang hingga kini terjadi adalah keengganan masyarakat untuk menempuh jalur hukum di saat dirinya mengalami tindakan pidana ataupun ketidakadilan. Kekerasan terhadap kelompok minoritas dan rentan adalah kondisi nyata yang sering tak terlihat. Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak adalah contoh lain dari daftar panjang tindak pidana dan pelanggaran HAM yang tidak dilaporkan. Selain karena relasi kuasa dan faktor psikologis korban, kondisi itu juga terjadi karena ketidakpercayaan pada sistem hukum untuk mampu melindungi hak dasarnya sebagai warga negara dan manusia.
Pada beberapa kasus, aturan perundangan masih berkutat pada materi hukum yang didorong oleh sekelompok masyarakat tertentu yang memiliki pengaruh atau kekuatan menyuarakan pendapatnya. Dibantu oleh media yang berperan sebagai mesin-viral, wacana dan pendapat tersebut berkembang menjadi hal yang seolah-olah paling penting atau dibutuhkan. Budaya hukum dan politik yang dibangun oleh propaganda kekuatan dan/atau kekuasaan itulah yang kini kian berkembang, mengambil kekosongan nilai-nilai positif yang telah terkikis atau ditinggalkan oleh masyarakat.
Dalam konteks politik saat ini, perkembangan budaya hukum dapat diamati dari proses penegakan hukum yang tidak berjalan pada para pelaku ujaran kebencian dan hoax di ruang-ruang publik, yang telah memberikan kepuasan dan kepercayaan diri lebih besar, hingga berpotensi dicontoh secara masif dan dijadikan model dalam strategi politik elektoral. Hal tersebut terlepas dari spekulasi wacana ‘teori strategi politik’ yang sengaja dibuat untuk menghilangkan kepercayaan publik pada hukum dan pemerintah. Politik identitas –fragmentasi masyarakat dalam identitas gender, kepercayaan, ras, agama, etnis, dan ekonomi–, akhirnya masih menjadi mainan dan alat politik di pemilu serentak mendatang.
Sebagai penutup, perlu diingat bahwa fungsi hukum bukan sekedar tegaknya aturan formil, tetapi untuk mewujudkan keadilan materil. Keadilan sebagai substansi tidak boleh ditinggal oleh formalitas hukum yang kerap dipakai oleh para juris yang lebih berperan hanya sebagai ‘robot hukum’.
Pemenuhan hak-hak kehidupan manusia merupakan nyawa dari hukum. Sebagai sebuah prinsip, pelanggaran HAM adalah peniadaan hak kodrati universal yang melekat pada martabatnya seorang manusia; yang adalah milik semua orang dari segala bangsa. Maka, jaminan penghormatan pada HAM harus bersifat universal dan menyeluruh. Sehingga dapatlah disimpulkan, bahwa aturan hukum yang tidak berlandaskan pada prinsip HAM merupakan hukum yang tidak baik; demikian pula dengan penegakan hukumnya.
Penulis: Agung Sulistyo, Peneliti PARA Syndicate.
(Makalah ini telah dipaparkan dalam acara Diskusi Syndicate Update Seri Evaluasi Politik Akhir Tahun PARA Syndicate, dengan Tema :” Riuh Tahun Politik: More Noise Than Voice “. Acara diskusi ini diselenggarakan di kantor PARA Syndicate JL. Wijaya Timur 3 No.2 A Petogogan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Jum’at(14/12/2018)).