Home Profile Dari Uang Kripto Hingga NFT: Seberapa Tertinggal Kita ?

Dari Uang Kripto Hingga NFT: Seberapa Tertinggal Kita ?

0
SHARE

Jakarta, REPORT INDONESIA – Belakangan ini, publik dikejutkan dengan adanya fenomena Ghozali Everyday yang berhasil mengepas uang milyaran rupiah lewat NFT dengan foto selfie-nya. Suatu kebiasaan yang ia lakukan bertahun-tahun tak disangka membuahkan hasil lewat salah satu produk finansial sekarang ini. Publik kemudian berbondong-bondong mengikuti jejaknya dengan merilis berbagai produk dalam bentuk gambar lewat berbagai platform, salah satunya Opensea.

Hal tersebut diikuti dengan banyaknya pemberitaan tentang individu tertentu yang menjual informasi pribadinya, termasuk KTP, tanpa mengetahui konsekuensi pada saat menekan tombol “setuju”.

Bersamaan dengan diubahnya Facebook menjadi Meta, isu mengenai adanya transisi kehidupan menjadi dunia digital meningkat. Adanya platform metaverse, jual beli tanah secara digital, dan aset digital lainnya dengan memanfaatkan “uang digital” yang berlaku kian meningkat secara signifikan. Kita juga sering mendengar istilah cryptocurrency atau uang kripto, suatu token yang beberapa diantaranya kini telah memiliki regulasi di Indonesia.

NFT (non-fungible token) secara sederhana adalah kumpulan data yang tersimpan pada buku besar digital yang dikenal sebagai blockchain (Noor, 2021). Non-fungible menunjukkan karakteristik berbeda dengan uang kripto yang tidak bisa dipecah menjadi bagian-bagian kecil.

Jika bitcoin dapat dipisah dan dijadikan mata uang, maka NFT berada dalam bentuk arsip digital yang unik. “unik” disini berarti setiap NFT dapat berupa kumpulan kode yang berbeda dari NFT yang lainnya di dunia. Karena NFT yang paling banyak beredar berada dalam bentuk gambar atau karya seni, untuk mempermudah pembahasannya, mari kita sebut NFT sebagai “karya digital”.

Dengan kata lain, seorang pemilik karya digital tersebut akan memiliki suatu berkas dengan kode yang tidak dapat ditemukan pada karya digital lain diseluruh dunia. Platform penjual karya digital tersebut akan secara otomatis memberikan hak kepemilikan atas karya tersebut kepada seorang pemilik, baik saat masih milik sang pembuat karya, atau sudah dipindahkan haknya setelah transaksi jual beli berlangsung.

Block pada blockchain merupakan suatu daftar dari rekaman transaksi yang dicatat pada buku besar, yang dalam hal ini berada pada konteks digital. Transaksi berbagai aset digital baik yang berwujud maupun tidak dapat terekam disini. Sebagai contoh, anggap saja terdapat 1 juta lukisan yang dijual di dunia sekarang. Lukisan tersebut memiliki ciri khas dan keunikannya sendiri, sehingga membuatnya saling berbeda sama sekali. Jika kita membeli satu lukisan tersebut, hak milik lukisan tersebut akan menjadi milik kita. Orang lain mungkin bisa meniru, memfoto, atau mengimitasi lukisan tersebut, namun hak milik lukisan tersebut secara sah masih menjadi milik kita.

Walau NFT pada dasarnya memberi peluang menjadikan objek digital sebagai aset yang dapat diperjualbelikan, Noor mengatakan bahwa NFT sangat beresiko tinggi dan dianggap sebagai bubble yang sewaktu-waktu dapat pecah, turun, dan menjadi tidak bernilai. Belum lagi NFT sebagai aset digital dianggap sebagai investasi aset kripto, yang juga memiliki resiko tinggi. Kita akrab dengan ETH, atau koin Ethereum yang digunakan untuk membeli NFT. Volatilitas koin ETH yang tinggi membuatnya tidak bisa diaplikasikan oleh semua orang. Hal ini terkadang sulit dipahami bagi kita masyarakat yang berusaha mengikuti trend yang dapat menghasilkan keuntungan dalam waktu singkat.

Pola pikir masyarakat yang menurut penulis mendorong mereka untuk mengikuti tren NFT adalah untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Individu beranggapan bahwa dengan menjual aset dalam bentuk NFT, aset atau karya tersebut akan dibeli oleh seorang konsumen dengan menggunakan uang kripto. Uang kripto tersebut kemudian dapat ditukarkan menjadi mata uang resmi dari negara tersebut dan meningkatkan kekayaan secara instan.

Dalam perjalanannya, masyarakat belum mengetahui hakikat dari transaksi pada blockchain, perubahan kepemilikaan saecara penuh, dan resiko penurunan nilai dari aset digital itu sendiri, baik NFT maupun uang kripto.

Tentunya di masa depan, fenomena NFT akan dikenal sebagai masa-masa yang menggemparkan dunia. Tak hanya peningkatan tren yang berbarengan dengan pandemi COVID-19, transaksinya yang memanfaatkan uang kripto turut membuat investasi aset kripto yang memiliki stereotype “mahal” dan “bernilai tinggi” meningkat pada masanya. Terlepas dari resiko yang dimilikinya, 10.000 bitcoin yang hanya mampu membeli dua loyang pizza pada tahun 2010, kini menjadi salah satu pemilik marketshare terbesar di dunia.

Merujuk pada beberapa pekan kebelakang, kita mengenal token kripto belum ASIX yang dirilis oleh salah satu public figure, Anang Hermansyah. Token tersebut kerap menyorot perhatian publik hingga membuatnya dapat terjual habis dalam waktu singkat, namun Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) memberikan pernyataan bahwa token tersebut belum terdaftar pada 229 aset kripto yang diperdagangkan di Indonesia.

Beberapa keluhan berdatangan mengenai token tersebut, baik dari sisi adanya penyusutan nilai aset yang istilahnya membuat “harga”-nya turun, maupun dari sisi legalitasnya.

Selain itu, publik juga diperkenalkan dengan token kripto milik Wirda Mansur, anak dari ustad Yusuf Mansur yang bernama I-COIN. Setiap mata uang kripto memiliki utilitasnya masing-masing, dimana ada yang berperan pada perkembangan metaverse atau dunia digital, game, dan juga pada tempat jual-beli karya digital atau NFT.

Berbeda dengan harta fisik seperti tanah, rumah, mobil, industri, perkebunan, dan pertambangan, aset kripto tidak memiliki wujud dan tersimpan dalam blockchain. Aset kripto juga tidak memiliki underlying asset karena basisnya berdasarkan kode dan jaringan digital.

Underlying asset merupakan aset keuangan yang menjadi dasar harga derivatif dalam jangka waktu tertentu. Harga dari suatu aset kripto akan berdasar pada nilai aset tersebut sendiri di pasaran.

Menyikapi adanya fenomena tersebut, suatu peraturan yang secara resmi mengatur peredaran dan legalitas aset kripto menjadi penting.

Hal yang membuat aset kripto menggiurkan adalah peningkatan nilai asetnya yang dapat meningkat hingga 20 kali lebih tinggi dari indeks harga saham gabungan berdasarkan data pada jurnal Krisnawangsa dan kawan-kawan pada tahun 2021. Adanya peraturan selain dapat memfasilitasi perdagangan aset kripto secara legal, juga dapat melindungi masyarakat dari kerugian yang mungkin menanti.

Bagi masyarakat yang merasa tertinggal, penulis sendiri beranggapan tidak ada yang namanya tertinggal dalam memasuki dunia yang berkaitan erat dengan aset kripto, baik token maupun NFT. Hal tersebut dikarenakan resiko dalam memiliki ataupun memperdagangkan aset kripto terbilang besar.

Sebut saja kondisi pasar yang sangat fluktuatif, membuat “harga” aset kripto turun atau bahkan jatuh sewaktu-waktu. Belum lagi dari sisi keamanan, blockchain mengizinkan siapa saja yang terlibat melihat histori transaski yang terjadi, membuat unsur kerahasiaan tereduksi secara drastis.

Pada tahun 2014 lalu, Mt Gox, salah satu tempat pertukaran bitcoin terbesar pada saat itu mengalami kebangkrutan saat dirampok oleh sekumpulan hacker dengan kerugian mencapai 460 juta dolar AS. Dari sini, kita perlu mengingat bahwa aset kripto, digital, dan NFT dikemas dalam bentuk data digital. Adanya error atau kesalahan pada sistem tersebut termasuk percobaan hacking dapat mengancam ekosistem kripto.

Iming-iming adanya peningkatan keuntungan berkali-kali lipat yang terkadang juga didukung oleh para influencer harus disikapi secara kritis. Jangan sampai tindakan kita merugikan orang-orang lain, terutama orang-orang disekitar kita.

Tak ada sesuatu yang dapat diraih dengan usaha dan kerja keras. Setiap orang akan belajar, termasuk belajar dari kesalahannya.

Penulis: Andrava Dema Syanatha

Mahasiswa FTMD ITB 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here