Home Profile Akar Masalah Papua

Akar Masalah Papua

3
SHARE

Jakarta, REPORT INDONESIA – Kekisruhan yang terjadi di Papua yang ramai di Medsos, jika kita berada di tengah masyarakat papua tidak seserem apa yang diberitakan dalam Medsos, karena berdasarkan observasi saya menangani perkara di Sorong, Nabire, Paniai, Biak, Dieyei, Mimika dan Jayapura bahkan saya sudah sampai ke pedalaman yang disebut daerah rawan yaitu di Enarotali dan Wagete.
Saya bebas berkomunikasi dengan penduduk asli yang masih banyak di pedalaman yang hanya pakai koteka bagi kaum laki-laki dan bagi perempuan pakai rumbai untuk pusar kebawah sedangkan diatas pusar dadanya masih tidak tertutup. Penduduk asli Papua jika saya sapa, ” Adek bagaimana kabar ? Maka langsung disambut hangat dengan bersalaman khas Papua yaitu jari ditekuk kemudian saling memasukan dalam jari telunjuk dan jari manis.
Ada tiga hal yang mendasar menjadi pemicu ketidak puasan masyarakat penduduk asli Papua, yaitu Pertama, Penguasa pusat tidak konsisten atas kesepakatan di awal reformasi yaitu masyarakat Papua diberi hak Mengibarkan identitasnya Bendera Bintang Kejora dan penggantian Irian menjadi Papua di era Presiden Gusdur, yang telah dituangkan dalam UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi Papua di Era Presiden Megawati.
Berdasar UU Otsus Pemerintah Propinsi Papua telah menerbitkan keputusan Gubernur tentang Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat ( IPK-MA) yang memberikan hak tiap masyarakat adat diberi hak pemanfaatan kayu atas hutan seluas 1000 ha. Atas hak tersebut hiduplah perekonomian masyarakat penduduk asli Papua.
Namun di Era Presiden SBY dengan Menteri Kehutanan MS. Kaban,  IPK MA tersebut dianggap illegal sehingga ditutup usaha kayu yang berasal dari IPK MA tersebut. Ada 4 kasus di PN Sorong yang advokat tangani dari masyarakat Kabupaten Sorong dan Raja Ampat, Alhamdulillah keempatnya diputus bebas ( oonslaag) oleh Pengadilan Negeri Sorong dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung.
Sejak Era Presiden SBY sampai Presiden Jokowi, penduduk asli Papua yang hidup di tengah hutan tidak dapat hidup dari hasil hutan, sementara ada perusahaan besar dapat hak mengelola hutan ratusan bahkan jutaan hektar.
Kedua, masyarakat Papua berhak atas dana otsus tetapi dana tersebut penggunaannya digabung dengan dana DAU/DAK/Dana perimbangan dengan mekanisme pengelolaan keuangan sama dengan daerah lain, sehingga terkesan Pemerintah Pusat tidak serius dalam memberdayakan masyarakat asli Papua.
Ketiga, aparat penegak hukum tidak memberdayakan dan mengakomodir kearifan lokal seperti persoalan Miras yang telah diatur dalam Perda seharusnya diberlakukan Perda dengan aparat penegak hukumnya Satpol PP tetapi tidak difungsikannya, Polisi menjerat dengan KUHP ketentuan tipiring. Operasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian terkesan berlebihan sehingga menghidupkan luka lama dan mudah terbakar oleh profokator.

Penulis: H. Dudung Badrun, SH., MH, Advokat, Konsultan Hukum, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Falaq Segeran Kidul Indramayu Jawa Barat, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Madrasah Indonesia.

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here