Jika Aparatur Sipil Negara (ASN) mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam Pilkada, harus melakukan pengunduran diri secara tertulis. Pengunduran diri ini dilakukan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.
Dosen Fakulas Hukum Unpas Bandung, DR Atang Irawan, Minggu (27/8/2017) menegaskankan bahwa, pada Pasal 7 ayat (2) huruf t UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu no 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, disebutkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, serta calon Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan.
Persyaratan tersebut seperti menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil, serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.
“Jika melihat pasal tersebut, maka jika ASN mencalonkan kepala daerah atau wakilnya, harus menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota ASN. Pengunduran dirinya didilakukan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan,” pungkasnya.
Dilanjutkan Atang, untuk menjadi perhatian, Pasal 7 ayat (2) huruf t harus dibaca secara komprehensif dengan huruf lainnya yang menjadi syarat calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) harus dibaca dalam satu kesatuan, tidak dapat dibaca terspisah karena Pasal 7 ayat (2) huruf t mengatur secara imperative tentang sayarat-syarat calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah.
“Dengan demikian makna menyatakan secara tertulis pengunduran diri ASN, dilaksanakan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan,” katanya.
Bahkan Pasal 7 ayat (2) huruf t telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi beberapa kali, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK No 49/PUU-XIII/2015 yang dalam putusannya menyatakan bahwa permohoan pengujian konstitusional Pasal 7 ayat (2) huruf t mutatis mutandis berlaku putusan MK No 41/PUU-XII/ 2014 dan No 45/PUU-XIII/2015, menyatakan bahwa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, serta Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Bahkan dalam putusan MK tersebut jika tidak dimaknai demikian maka bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan MK sebagaimana dimaksud, lanjut Atang, terkait juga dengan kedudukan ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 199 UU No 5 Tahun 2014 yang menyatakan, pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pertama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/wali kota, dan wakil bupati/wakil wali kota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaptar sebagai calon.
Menurut MK dalam Putusannya, hal tersebut memang telah memberikan kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tegas menyatakan, bahwa hak dimaksud bukanlah sekedar hak kepastian hokum melainkan hak kepastian hukum yang adil.
Dituturkan Atang, jika ASN diminta pengunduran diri sebelum mendaftar atau bahkan pada saat mendaftar, menurut MK hal tersebut hanyalah merupakan tahapan awal sebelum seseorang dinyatakan resmi atau sah sebagai calon peserta pemilihan setelah dilakukan verifikasi oleh penyelenggara pemilu.
“Jika ASN harus mengundurkan diri sejak daftar pada partai politik, dan harus mengundurkan diri, bagaimana jika tidak dicalonkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik. Bisa saja karena surveinya tidak bagus, atau demikian halnya jika sudah daftar namun hasil verifikasi penyelenggara pemilu tidak meloloskan ASN sebagai pasangan calon. Hal ini berakibat pada hak memilih dan dipilih bagi ASN dapat terbatasi untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan yang dibedakan dan dikecualikan dari dan/atau dengan kelompok warga Negara dan/atau profesi lain, sehingga pembatasan, pembedaan dan pengecualian dapat dikualifikasikan sebagai bentuk diskriminatif karena telah melakukan pembatasan hak warga negara,” katanya.
Meskipun pembatasan terhadap hak konstitusional dapat dilakukan oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, namun pembatasan dari undang-undang tersebut tidak boleh bersifat absolut melainkan bersyarat (conditionaly) dan memenuhi syarat-syarat intentionalitas dalam arti dimaksudkan untuk tujuan-tujuan yang bersifat limitatif.
Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK 017/PUU-I/2003 menyatakan hak konstitusional warga Negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terahadap HAM warga negara
Berdasarkan hal tersebut diatas, lanjut Atang, maka makna Pasal 7 ayat (2) huruf t sangatlah tegas dalam rangka perlakuan kepastian huku yang berkeadilan yang sudah tegas diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 dan dilatarbelakangi oleh beberapa putusan Mahkamah Konstiusi. Dengan demikian maka apabila ASN akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah harus menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagau ASN yang dilaksanakan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.