Home Report SETARA Institute: Peradilan Kasus JAI Sintang: Hakim Dan Jaksa Tidak Profesional, Penegakan...

SETARA Institute: Peradilan Kasus JAI Sintang: Hakim Dan Jaksa Tidak Profesional, Penegakan Hukum Tidak Adil”

0
SHARE

Jakarta, REPORT INDONESIA – Hari ini (13/01), PN Pontianak Kalimantan Barat membacakan putusan kedua untuk kasus perusakan Masjid Miftahul Huda yang dibangun oleh komunitas muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dengan 1 terpidana. Pada hari Kamis pekan sebelumnya (06/01), Majelis Hakim juga sudah menjatuhkan vonis untuk 21 terpidana. Ke-22 terpidana dijerat dengan dua pasal berbeda. Tiga orang dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang hasutan, sedangkan 19 orang lainnya dijerat dengan Pasal 170 (1) KUHP tentang kekerasan secara bersama terhadap orang atau barang. 22 pelaku tindak pidana tersebut divonis sangat ringan, yaitu 4 bulan 15 hari dipotong masa tahanan. Untuk diketahui, ancaman hukuman maksimal untuk dua pasal tersebut masing-masing 6 tahun dan 5 tahun 6 bulan penjara.

Demikian ungkap Ketua SETARA Institute Hendardi dalam keterangan persnya di Jakarta, Jum’at(14/1/2021).

Berkaitan dengan putusan pada kasus dimaksud, SETARA Institute menyampaikan pandangan sebagai berikut:

Pertama, SETARA Institute mengecam keras putusan sangat ringan yang dijatuhkan kepada para pelaku. Putusan tersebut tidak memberikan keadilan bagi korban. Selain itu, putusan tersebut menegaskan tren ketidakmampuan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman yang memberikan efek jera bagi kelompok intoleran dan vigilante yang melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap kelompok agama minoritas.

Kedua, SETARA Institute mendesak Komisi Yudisial RI untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi kepada Majelis Hakim yang menangani kasus tersebut. Demikian pula dengan Komisi Kejaksaan RI untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi kepada Jaksa dalam kasus tersebut. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh SETARA Institute bersama dengan Tim Advokasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan proses persidangan tidak profesional. Jaksa tampak tidak serius dalam melakukan penuntutan dengan hanya menuntut para tersangka 6 bulan penjara dan selama persidangan tidak serius mendalami tindak pidana yang didakwakan. Demikian juga dengan majelis hakim. Bahkan sejak awal proses persidangan diarahkan untuk menghakimi keyakinan para korban, bahkan membiarkan ujaran kebencian terhadap saksi korban yang dihadirkan dalam persidangan.

Ketiga, SETARA Institute menilai bahwa peradilan kasus hasutan dan perusakan masjid Miftahul Huda Sintang di PN Pontianak melanjutkan tren penanganan kasus-kasus dengan korban kelompok agama minoritas. Proses persidangan cenderung menghakimi keyakinan korban dan menjadikan korban sebagai pihak yang dikorbankkan ulang (re-viktimisasi). Selain itu, putusan yang diambil menguatkan praktik populisme yudisial, dimana pengadilan cenderung dipengaruhi oleh pandangan dan keberpihakan kepada kelompok yang mengklaim atau diklaim sebagai mewakili sikap mayoritas.

Keempat, berkaitan dengan segera akan bebasnya para terpidana dan mempertimbangkan situasi terkini di Balai Harapan, SETARA Institute mendesak Kapolri untuk menginstruksikan jajaran kepolisian agar mengambil tindakan yang dibutuhkan sesuai kewenanangannya untuk menjamin keamanan (human security) warga Ahmadiyah di Balai Harapan Tempunak Sintang dan Kalimantan Barat pada umumnya. Di samping itu, aparat kepolisian juga harus mengantisipasi ketegangan dan gangguan keamanan yang dipicu oleh kelompok intoleran dan vigilante. Dalam pemantauan SETARA Institute dan Tim Advokasi KBB, saat ini kembali marak spanduk-spanduk ujaran kebencian terhadap Ahmadiyah. Selain itu, beberapa pelaku juga mengeluarkan ancaman terjadinya kerusuhan antar identitas di Sintang dan Kalimantan Barat.(Red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here