Jakarta, REPORT INDONESIA – Penyebab rendahnya produksi minyak mentah dan BBM yang sudah berlangsung belasan tahun belakangan ini adalah UU Migas No.22/2001. Pada tahun 2003 Mahkamah Konstitusi sudah mencabut setidaknya 2 pasal pokok dar UU Migas yang kelahirannya merupakan bagian dari Letter of Intent IMF. Kedua pasal tesebut adalah pasal tentang Kuasa Pertambangan dan pasal tentang harga BBM dalam negeri yang harus diserahkan kepada mekanisme pasar.
Oleh karena itu, DPR RI di era Presiden SBY berinisiatif untuk merevisi UU Migas No.22/2001. Namun belum sempat RUU Revisi disyahkan, pada tahun 2013 kembali Mahkamah Konstitusi mencabut beberapa pasal pokok, kali ini pasal-pasal yang terkait dengan BP MIGAS, lembaga baru dibawah Kementerian ESDM yang menangai sektor hulu migas. Akibat langsung dari keberadaan UU Migas No.22/2001 dimana pasal-pasal pokoknya bertentangan dengan Konstitusi adalah: anjloknya investasi explorasi dan stagnantnya kapasitas kilang BBM. Muara dari sistem tata kelola yag salah ini adalah import migas yg terus naik, telah menempatkan Sektor Migas nasional menjadi penyebab utama terjadinya Defisit Neraca Perdagangan hampir setiap tahun dalam satu dekade terakhir ini.
Hal ini terjadi karena sistem tata kelola dibawah UU Migas Nk.22/2001, selain bertentangan dengan konstitusi, juga UU ini menciptakan sistem yang tidak ramah pada investor seperti tercermin dari proses investasi yang berbelit dan birokratik sebagai akibat berubahnya pola hubungan dengan investor, dari pola ‘B to B’ menjadi ‘B to G’ dan dicabutnya prinsip Lex Spesialis sekaligus membebani pajak semasa explorasi. Dengan pola ‘B to B’ dimana yang menandatangani Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) adalah Perusahaan Migas Nasional – Pertamina (NOC) dengan pihak Kontraktor/investor migas. Seluruh perijinan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan explorasi dan exploitasi/produksi migas ditangani oleh Pertamina. Termasuk mengeluarkan dari pelabuhsn alat-alat/barang-barang yang diimport oleh Investor untuk keperluan explorasi migas dengan tanpa dibebani pajak. Karena didalam PSC, bagian Pemerintah yang besarnya 85% setelah cost recovery sudah termasuk semua pajak yang harus dibayar oleh investor. Semua alat/barang-barang yang diimport oleh Kibtraktor migas, begitu tiba di Indonesia langsung menjadi milik Indonesia/Pertamina.
Tak ayal lagi bahwa solusi dari terpuruknya sektor migas nasional sast ini adalah dengan mengganti UU Migas No.22/2001 dengan UU yang baru dengan prinsip pokok: 1). UU Migas yang baru tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi dan juga tidak boleh mengabaikan Keputusan Mahkamsh Konstitusi. 2). Sistem dan arsitektur industri migas kedepan harus efisien, simpel dan ramah investor.
(Penulis :Dr Kurtubi – Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Nasdem).